Akhir-akhir
ini Fenomena calon-calon independen sedang marak terjadi, Calon independen
sendiri diartikan sebagai seorang politikus non-partai, seseorang yang tidak
berafilasi dengan partai politik manapun, seseorang yang mungkin sebelumnya
merupakan mantan anggota partai politik namun memutuskan untuk tidak berdiri
dibawah nama partai tersebut. Salah satu pilar Demokrasi adalah Partai Politik,
Maka partai politik idealnya harus diperkuat derajat pelembagaannya dalam
setiap sistem politik yang demokratis. Di Indonesia sendiri partai politik
banyak sekali hingga puluhan, dan disebut multipartai. Hal tersebut tidak
terlepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk. Masalahnya pada
saat ini partai politik yang banyak tersebut kurang bisa mengoptimalkan
fungsinya dalam hal rekrutmen politik yang terlihat kurang munculnya
pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Sehingga calon-calon independen lebih
banyak diminati masyarakat akhir-akhir ini karena mungkin juga faktor seorang
calon independen beserta kualitasnya yang mumpuni dengan apa yang kini menjadi
tren, Pemimpin Transformasional, yaitu pemimpin yang berusaha merubah
organisasi dengan cepat dan tepat sasaran.
Secara
hakikat Partai politik merupakan refresentatation of idea, yaitu kelompok
kepentingan yang mewakili masyarakat dalam hal bertindak sesuai apa yang
diinginkan atau kepentingan-kepentingan juga memberikan jalan kompromi bagi
pendapat atau tuntutan yang saling bersaing dan kompromi susksesi kepemimpinan
politik. Partai politik yang mendukung calon independen dianggap menyalahi
kodratnya dan dianggap membunuh dirinya sendiri (partai politik), dan juga
dipertanyakan dimana letak harkat martabat partai yang seharusnya menjadi
gerakan ideologis yang sistematis yang mengakar pada kebudayaan masyarakat.
Partai
politik menjadi penting dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi sendiri seperti
yang kebanyakan kita ketahui bahwa Pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat.
Yang diagung-agungkan sebagai sistem yang telah mampu dan paling ideal untuk
menjalankan pemerintahan di seluruh Dunia. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan
tidak ada pemilu tanpa partai politik. Jika merebak calon-calon independen
kemungkinan besar yang akan terjadi juga yang dikhawatirkan adalah Kepemimpinan
otoriter / Kepemimpinan Otokratis/ Kepemimpinan diktator dimana kekuasaan dipegang
dan dimonopoli oleh pemimpin sendiri, suka memaksakan kehendak dan tidak suka
melakukan musyawarah sehingga aspirasi masyarakat tidak mungkin masuk dan
dijadikan input kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Ini
jelas-jelas sangat bertentangan dengan substansi demokrasi itu sendiri. Ketidak
konsistenan partai politik adalah penyebab paling utama kemungkinan demokrasi
akan hancur, Jangankan dalam hal fungsinya, dalam hal corakpun partai politik
Di Indonesia masih belum jelas arahnya, dan kadang-kadang memiliki ideology
yang sama satu sama lain dan tidak ada beda yang ditawarkan, sekalipun ada hal
tersebut sangat sulit dibedakan oleh masyarakat awam sehingga ini akan
mempengaruhi dalam pemilihan pemilu calon-calon yang akan maju, masyarakat Indonesia
lebih memilih calon-calon yang terkenal misalnya lewat media massa yang sering
tampil di Televisi, dan inipun didukung oleh partai politik dan dijadikan
kesempatan untuk meraup suara agar partainya menang dalam pemilu, contohnya
saja para artis yang mencalonkan diri dikursi pemerintahan, yang mungkin bias
dilihat kapasitasnya belum mumpuni secara latarbelakang dan pendidikan keilmuan
yang sungguh bertolak belakang. Meskipun sebenarnya hal tersebut juga adalah
ekspresi dari demokrasi itu sendiri karena dalam Negara demokrasi siapapun
warganegara berhak mencalonkan diri di kursi pemerintahan. Memang dibenarkan
dan tidak masalah siapapun dan latarbelakang apapun, namun satu yang menjadi
kritiknya adalah dalam tubuh Partai politik tidak berhasil menggembleng para
kandidat.
Sebenarnya
masih banyak lagi masalah yang ada dalam tubuh partai politik, dimana untuk
mendapatkan kekuasaan tidak terlepas dari biaya politik yang semakin tinggi dan
seolah-olah untuk memenangkan kekuasaan tersebut harus dibeli dengan harga
mahal, dan harus juga dikembalikan nanti ketika menjabat, dan jalan termudah
satu-satunya adalah korupsi demi mengembalikan modal semula yang telah
dikeluarkan. Kondisi ini pula yang akhirnya mendorong partai hanya merekrut
orang-orang berduit sebagai caleg karena bisa membiayai partai, bukan
orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan kontribusinya bagi partai.
Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil banyak juga dari partai atau saat
menduduki posisi-posisi strategis dalam jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang
terjadi adalah sangat transaksional. Ada pola money, power, more money, more
power.
Yang
harus ditanamkan Partai politik kepada kader dan masyarakat adalah bahwa
mengejar kekuasaan saja tidak akan bertahan lama. Kekuasaan yang sebenarnya
akan dimiliki apabila terdapat dukungan yang luas dari masyarakat. Maka
berpolitik itu hanya akan dicapai apabila partai politik secara serius dan
bersungguh-sungguh memperbaiki nasib rakyat yang luas. Dan seakan-akan Partai
politik menjadi terAlienisasi Partai Politik dengan masyarakat dimana
masyarakat tidak lagi mengenal Partai politik terasa asing bagi masyarakat.
Masyarakat menjadi beranggapan bahwa berpolitik hanya dilakukan oleh para elit,
memilih ataupun tidak memilih hasilnya sama saja tidak akan menyelesaikan
permasalahan yang ada dan sedang berkembang, sehingga mereka berusaha mengatasi
permasalahan yang ada dengan cara sendiri, mungkin terlihat dengan banyaknya
demo yang merupakan cerminan tidak berfungsinya lembaga dalam mendengarakan
tuntutan dan kepentingan masyarakat. Calon independen tidak mencerminkan budaya
Demokrasi karena dalam demokrasi yang melalui Partai politik masyarakat bisa
bermusyawarah dengan berkelompok sedangkan dengan calon independen mencerminkan
semangat perseorangan saja.