Tuesday, 24 May 2016

FENOMENA CALON INDEPENDEN ANCAMAN BAGI DEMOKRASI



Akhir-akhir ini Fenomena calon-calon independen sedang marak terjadi, Calon independen sendiri diartikan sebagai seorang politikus non-partai, seseorang yang tidak berafilasi dengan partai politik manapun, seseorang yang mungkin sebelumnya merupakan mantan anggota partai politik namun memutuskan untuk tidak berdiri dibawah nama partai tersebut. Salah satu pilar Demokrasi adalah Partai Politik, Maka partai politik idealnya harus diperkuat derajat pelembagaannya dalam setiap sistem politik yang demokratis. Di Indonesia sendiri partai politik banyak sekali hingga puluhan, dan disebut multipartai. Hal tersebut tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk. Masalahnya pada saat ini partai politik yang banyak tersebut kurang bisa mengoptimalkan fungsinya dalam hal rekrutmen politik yang terlihat kurang munculnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Sehingga calon-calon independen lebih banyak diminati masyarakat akhir-akhir ini karena mungkin juga faktor seorang calon independen beserta kualitasnya yang mumpuni dengan apa yang kini menjadi tren, Pemimpin Transformasional, yaitu pemimpin yang berusaha merubah organisasi dengan cepat dan tepat sasaran.
Secara hakikat Partai politik merupakan refresentatation of idea, yaitu kelompok kepentingan yang mewakili masyarakat dalam hal bertindak sesuai apa yang diinginkan atau kepentingan-kepentingan juga memberikan jalan kompromi bagi pendapat atau tuntutan yang saling bersaing dan kompromi susksesi kepemimpinan politik. Partai politik yang mendukung calon independen dianggap menyalahi kodratnya dan dianggap membunuh dirinya sendiri (partai politik), dan juga dipertanyakan dimana letak harkat martabat partai yang seharusnya menjadi gerakan ideologis yang sistematis yang mengakar pada kebudayaan masyarakat.
Partai politik menjadi penting dalam demokrasi perwakilan. Demokrasi sendiri seperti yang kebanyakan kita ketahui bahwa Pemerintahan dari, untuk, dan oleh rakyat. Yang diagung-agungkan sebagai sistem yang telah mampu dan paling ideal untuk menjalankan pemerintahan di seluruh Dunia. Tidak ada demokrasi tanpa pemilu dan tidak ada pemilu tanpa partai politik. Jika merebak calon-calon independen kemungkinan besar yang akan terjadi juga yang dikhawatirkan adalah Kepemimpinan otoriter / Kepemimpinan Otokratis/ Kepemimpinan diktator dimana kekuasaan dipegang dan dimonopoli oleh pemimpin sendiri, suka memaksakan kehendak dan tidak suka melakukan musyawarah sehingga aspirasi masyarakat tidak mungkin masuk dan dijadikan input kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Ini jelas-jelas sangat bertentangan dengan substansi demokrasi itu sendiri. Ketidak konsistenan partai politik adalah penyebab paling utama kemungkinan demokrasi akan hancur, Jangankan dalam hal fungsinya, dalam hal corakpun partai politik Di Indonesia masih belum jelas arahnya, dan kadang-kadang memiliki ideology yang sama satu sama lain dan tidak ada beda yang ditawarkan, sekalipun ada hal tersebut sangat sulit dibedakan oleh masyarakat awam sehingga ini akan mempengaruhi dalam pemilihan pemilu calon-calon yang akan maju, masyarakat Indonesia lebih memilih calon-calon yang terkenal misalnya lewat media massa yang sering tampil di Televisi, dan inipun didukung oleh partai politik dan dijadikan kesempatan untuk meraup suara agar partainya menang dalam pemilu, contohnya saja para artis yang mencalonkan diri dikursi pemerintahan, yang mungkin bias dilihat kapasitasnya belum mumpuni secara latarbelakang dan pendidikan keilmuan yang sungguh bertolak belakang. Meskipun sebenarnya hal tersebut juga adalah ekspresi dari demokrasi itu sendiri karena dalam Negara demokrasi siapapun warganegara berhak mencalonkan diri di kursi pemerintahan. Memang dibenarkan dan tidak masalah siapapun dan latarbelakang apapun, namun satu yang menjadi kritiknya adalah dalam tubuh Partai politik tidak berhasil menggembleng para kandidat.
Sebenarnya masih banyak lagi masalah yang ada dalam tubuh partai politik, dimana untuk mendapatkan kekuasaan tidak terlepas dari biaya politik yang semakin tinggi dan seolah-olah untuk memenangkan kekuasaan tersebut harus dibeli dengan harga mahal, dan harus juga dikembalikan nanti ketika menjabat, dan jalan termudah satu-satunya adalah korupsi demi mengembalikan modal semula yang telah dikeluarkan. Kondisi ini pula yang akhirnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang berduit sebagai caleg karena bisa membiayai partai, bukan orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan kontribusinya bagi partai. Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil banyak juga dari partai atau saat menduduki posisi-posisi strategis dalam jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang terjadi adalah sangat transaksional. Ada pola money, power, more money, more power.
Yang harus ditanamkan Partai politik kepada kader dan masyarakat adalah bahwa mengejar kekuasaan saja tidak akan bertahan lama. Kekuasaan yang sebenarnya akan dimiliki apabila terdapat dukungan yang luas dari masyarakat. Maka berpolitik itu hanya akan dicapai apabila partai politik secara serius dan bersungguh-sungguh memperbaiki nasib rakyat yang luas. Dan seakan-akan Partai politik menjadi terAlienisasi Partai Politik dengan masyarakat dimana masyarakat tidak lagi mengenal Partai politik terasa asing bagi masyarakat. Masyarakat menjadi beranggapan bahwa berpolitik hanya dilakukan oleh para elit, memilih ataupun tidak memilih hasilnya sama saja tidak akan menyelesaikan permasalahan yang ada dan sedang berkembang, sehingga mereka berusaha mengatasi permasalahan yang ada dengan cara sendiri, mungkin terlihat dengan banyaknya demo yang merupakan cerminan tidak berfungsinya lembaga dalam mendengarakan tuntutan dan kepentingan masyarakat. Calon independen tidak mencerminkan budaya Demokrasi karena dalam demokrasi yang melalui Partai politik masyarakat bisa bermusyawarah dengan berkelompok sedangkan dengan calon independen mencerminkan semangat perseorangan saja.