TUGAS MATA KULIAH SISTEM
PEMERINTAHAN DESA
“BENTUK BENTUK DESA”
DISUSUN
OLEH
Dini Irmalinda 17041013003
Wiji Astuti 170410130021
Maulana Wildan Firdaus 170410130037
Muhammad Nurdin Al Latief 170410130049
Cep Badru Salam Taufik 170410130051
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Desa atau
dengan sebutan lainnya, merupakan ‘aset’ bagi negara dan bagian vital bagi
peradaban bangsa Indonesia, karena dapat dikatakan bahwa Desa merupakan unit
terkecil dalam struktur pemerintahan Indonesia. Bayangkan saja jika ada
kebijakan dari pusat, siapa lagi yang akan terjun ke lapisan bawah kalau bukan
(salah satunya) Desa. Tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dan berdiri diantara
keberagaman. Begitupun dengan keberagaman mengenai Desa yang ada di Indoensia,
memperkaya identitas dan kearifan lokal bangsa dan negara.
Desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang menempati suatu wilayah dan mempunyai
batas-batas wilayah tertentu serta mempunyai pemerintahan secara otonom,
biasaya karakter desa ini ada di daerah agraris. Namun pada kenyataannya
istilah ada ‘kampung’ – nama lain dari desa – yang justru keberadaannya
ditengah-tengah perkotaan besar bahkan di Ibu Kota, sebut saja salah satunya
Kampung Rambutan. Perbedaan tersebut mungkin tidak semata-mata hanya perbedaan
istilah saja, boleh jadi ada pengaruh sejarah dan memiliki karakter tertentu
sehingga muncul penyebutan dan bentuk yang berbeda dari Desa.
Berangkat
dari kondisi diatas, kami bermaksud untuk mencari informasi mengenai pengertian
dan bentuk-bentuk Desa melalui studi pustaka dari berbagai litelatur yang ada,
karena kami yakin ilmu yang terus-menerus digali serta diperdalam akan selalu
memberi manfaat dan memperkaya khazanah pengetahuan bagi setiap orang yang
mempunyai rasa keingintahuan. Semoga makalah ini bermafaat khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian Desa?
2. Apa saja bentuk-bentuk Desa?
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Desa
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Desa
PEMBAHASAN
Pengertian
Desa
a. Sutardjo Kartohadikusumo (1953, dalam buku Desa)
Secara administratif, Desa diartikan sebagai suatu
kesatuan hukum dan di dalamnya bertempat tinggal sekelompok masyarakat yang
berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.
b. Undang-Undang Republik Indonesia No.6 tahun 2014
tentang Desa
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Prof. Drs. HAW. Widjaja (2003, dalam buku Otonomi
Desa)
Desa
adalah suatu ksatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan
hak asal usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai
pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat
1.
Sejarah Terbentuknya Desa
Pada umumnya setiap manusia akan memilih suatu tempat tinggal bersama untuk jadi
tempat berlindung bagi keluarga mereka. Ketika jaman dahulu manusia selalu
berpindah-pindah tempat, tapi pada akhirnya mereka memutuskan memilih suatu tempat, untuk
tinggal bersama selama-lamanya dengan keturunannya. Karena dengan hidup berkumpul tersebut mereka
dapat dengan lebih ringan memelihara, mengusahakan dan mempertahankan
kepentinganya bersama. Belum lagi bahaya yang bisa mengintai mereka kapan saja,
bahaya dari alam ataupun binatang buas,
dll. Oleh karena itu mereka membutuhkan kerja sama dalam hubungan yang erat dan
teratur. Mereka hidup dalam kelompok besar dan kecil yang merupakan
masyarakat-masyarakat hukum, dalam ikatan yang sangat kuat. Dalam hal ikatan desa tidak hanya disusun atas
kepentingan hidup lahir, akan tetapi juga kepentingan hidup batin, maka
dapatlah dimengerti bahwa ikatan itu sangatlah kuat. Ikatan batin yang mendapat
bentuk kepercayaan itu oleh masyarakat dihubungkan dengan dua jenis tali
pengikat pokok yaitu darah (keturunan) ataupun bumi (ibu pertiwi tanah yang
kramat). Jenis ikatan yang pertama melahirkan bentuk yang dalam bahasa asing
dinamakan geologis, dan jenis ikatan yang kedua melahirkan bentuk bentuk
territorial. Untuk lebih jelasnya berikut ini penjelasannya, yakni :
A). Bentuk
Genealogis
Bentuk geneologis yaitu masyarakat
hukum yang terjadi dari orang-orang yang berasal dari keturunan orang sedjodo
(orang berlaki istri). Orang-orang yang demikian dinamakan orang-orang sebangsa
atau se-suku, juga se-suku bangsa atau se-hulu-bangsa (keturunan). Masyarakat
keturunan yang lebih kecil dinamakan dalam bahasa asing famili, sanak saudara,
kaum keluarga atau kulawangsa, yang asalnya dari bahasa sanskerta. Kelompok
yang lebih kecil lagi disebut dengan keluarga atau kulawarga.
Dalam bentuk geneologis dalam hal ini mempunyai empat jenis,
yakni :
·
Pertama, suatu bentuk yang terjadi dari
orang-orang yang mempunyai persamaan keturunan dari seorang bapak yang pertama
dan bapak-bapak yang yang diturunkan oleh bapak pertama itu. Jadi hanya
keturunan orang laki-lakilah yang menenukan apakah seseorang masuk dalam suatu
masyarakat dan masuk dalam kekuasaan hukum dalam masyarakat itu. Bentuk itu
terdapat di nias, gajo, batak, sebagian daerah lampung, bali, maluku.
·
Kedua, berpedoman kepada hak ibu. Maka
yang dianggap sebagai warga masyarakat ialah orang-orang yang diturunkan dari
ibu pertama dan ibu-ibu yang diturunkan oleh ibu pertama dalam suku itu. Dalam
hal ini dianggap penting ialah keturunan menurut garis besar perempuan,
turun-menurun. Bentuk ini terdapat di daerah minangkabau, semendo.
·
Ketiga, faktor laki-laki dan faktor
perempuan dianggap sama pentingnya. Dalam masyarakat yang demikian, maka
masyarakat tidak tersusun oleh salah satu keturunan tapi dari dua segi
keturunan yakni keturunan dari bapak dan ibu. Bentuk ini terdapat di daerah
kalimantan dan sulawesi.
·
Keempat, ialah suatu aturan. Yang
memungkinkan bahwa seorang anak baik masuk kerabat bapak maupun masuk kerabat
ibu. Bentuk ini terdapat didaerah redjang.
B). Bentuk
Territorial
Bentuk territorial adalah daerah hukum
yang terjadi atas suka-rela warga masyarakat sendiri untuk bertempat tinggal
pada suatu tempat atas dasar kepentingan bersama, yang mempunyai kekuasaan
hukum. Di dalam daerah hukum territorial ada tiga jenis, yakni :
·
Pertama,
persekutuan dusun, dimana dalam bahasa asing dinamakan
dorpsgemeenschap. Yang terjadi dari ibu desa tapi tidak memperoleh kekuasaan
yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Dalam hal ini memiliki sifat, dimana
adanya masyarakat yang tidak terikat oleh keturunan, memiliki wilayah dengan
batas tertentu, induk desa yang mempunyai anak desa yang dinamakan pendukuhan,
kampung, desa mempunyai harta benda sendiri, dan desa mempunyai pemerintah yang
berkuasa atas seluruh daerah hukum sebagai kesatuan yang bulat, terdapat di
daerah jawa, madura, dan bali.
·
Kedua,
persekutuan daerah dalam bahasa asing dinamakan
streekgemeenschap, yang terdiri dari satu pusat kediaman dan beberapa tempat
kediaman lain persekutuan daerah dan daerah persekutuan dusun yang terjadi
karean pemisahan penduduk dari pusat kediaman dan bertempat tinggal dilain
tempat yang berjauhan, walalupun demikian anak-anak desa tersebut merasa lebih
muda usianya daripada pusat kediaman. Daerah ini memiliki sifat, dimana tempat
kediaman masyarakat ada yang terpisah dari masyarakat lain, mempunyai kekuasaan
dan pemerintahan sendiri, desa yang merupakan persekutuan daerah tersebut
memiliki hak kuasa atas tanah belukar yang ada didaerah tersebut, terdapat
didaerah angkola, mandailing dengan adanya kuria dan huta, dan disumatra
selatan dengan adanya marga dan dusun.
·
Ketiga,
gabungan dusun, yang memiliki sifat, dimana dalam suatu daerah
ada beberapa desa, desa tersebut memiliki batas dan wilayah sendiri, berhak
mengatur pemerintahan dan mengatur rumah tangga sendiri, mempunyai hak atas
tanahnya sendiri, dan gabungan dusun mempunyai pemerintah yang dari kerja sama
antara pemerintah-pemerintah daripada beberapa desa yang tergabung, biasanya
alah seorang kepala dari desa-desa dipilih menjadi kepala gabungan-dusun dalam waktu
tertentu, dan penggabungan dusun tidak punya hak kuasa atas tanah, dalam hal
ini terdapat di daerah batak.
C). Bentuk Campuran
Bentuk campuran ialah bentuk desa-desa
yang disusun atas dasar dua faktor, yakni faktor keturunan dan faktor
territorial. Di dalamnya terdapat masyarakat hukum, yang berhak atas
pemerintahan sendiri, dengan mempunyai harta benda sendiri dan sebaginya.
Contohnya Di ambon susunan daerah campuran dari bawah ke atas sebagai
berikut :
·
Famili yang dinamakna dati
·
Desa territrolial, dan
·
Gabungan dusun territorial
Sedangkan dia minangkabau susunan itu dari bawah ke atas,
yakni :
·
Famili
·
Suku
·
Nagari
·
Gabungan nagari
·
Federasi daripada gabungan-gabungan
nagari
Di lihat dari bentuk campuran itu terdapat lima jenis, yakni
:
·
Pertama, Suatu masyarakat seturunan suku
menetap disuatu daerah yang kemudian menentuka wilayahnya dengan batas-batas
yang tertentu. Daerah itu memegang kekuasaan sendiri, mempunai pemerintah
sendiri, mempunya harta benda dan sebagainya. Daerah itu adalah suatu daerah
hukum territorial , akan tetapi yang menguasai adalah suatu kesatuan masyarakat
genealogis. Terdapat di Buru.
·
Kedua, dalam daerah hukum territorial
disamping suku ataupun beberapa suku terdapat golongan dari lain suku atau
orang perseorangan sebagai `warga desa kelas 2 dalam hal melakukan hak tatap
raja dan menguasai tanah. Terdapat didaerah batak toba dan redjang.
·
Ketiga, dalam suatu daerah hukum
territorial terdapat suatu suku (bagian suku) sebagai warga desa asli.
Disampingnya dan diatasnya terdapat suatu masyarakat yang menyerbu dari luar
dan menguasai masyarakat keturunan yang asli dan juga memegang kekuasaan dalam
daerah hukum itu. Akan tetapi, masyarakat yang datang tidak bisa menguasai hak
atas tanah, karena tanah tersebut teteap milik masyarakat asli. Terdapat di
sumba-tengah dan sumba timur.
·
Ke empat, dalam daerah hukum territorial
(nagari-marga) terdapat bagian-bagian suku, yang satu dengan dengan yang lain
tidak ada hubungan darah ; mereka adalah orang-ornag yang membuka tanah
pertanian pada permulaan (cikal bakal). Oleh karena itu mereka (masing-masing
bagian suku) menguasai tanah pertanian diwilayahnya sendiri. Dalam hal ini
terdapat didaerah minangkabau dan bengkulu.
·
Kelima, bentuk yang terakhir hampir sama
dengan bentuk yang ke empat yakni, dalam daerah hukum territorial
(nagari-marga) terdapat bagian-bagian suku, yang satu dengan dengan yang lain
tidak ada hubungan darah ; akan tetapi masing-masing bagian suku dalam daerah
itu tidak mempunyai kekuasaan sendiri-sendiri atas tanah pertanian, melainkan
bersama-sama berkuasa atas tanah pertanian tersebut. Terdapat didaerah
minangkabau dan redjang.
Dalam bentuk campuran yang telah dijelaskan diatas, dengan
jelas tergambar sifat dari bentuk campuran, yaitu bahwa dalam tiap-tiap daerah
ada daerah territorial dan ada masyarakat geneologis. Dalam daerah bentuk
campuran, ketika seseorang ingin masuk menjadi warga desa, setidaknya ia harus
melakukan tidakan hukum, yang tidak dapat dipisahkan, yakni : ia harus diterima
menjadi warga suku atau salah satu suku (bagian suku) dalam daerah itu, dan ia
harus masuk dalam ikatan daerah (territorial), artinya ia harus bertempat
tinggal di daerah itu. Jadi, ikatan
darah dan ikatan bumi bagi tiap warga yang berbentuk campuran itu adalah sama
kuatnya dan mempunyai sifat struktural.
D).
Masyarakat Hukum Corporatif
Masyarakat hukum corporatif ialah termasuk suatu
kesatuan-hukum yang dibentuk atas dasar golongan-golongan penduduk yang
mempunyai kepentingan yang sama. Di indonesia sendiri Masyarakat hukum
comporatif sudah ada sejak jaman dulu tapi dalam bentuk yang sederhana.
Desa-desa di jawa – bali, pendukuhan di batak yang dinamakan jamban atau
bandar, adalah bersifat comporatif, yaitu organisasi daripada orang-orang yang
mempunyai kepentingan bersama dilapangan pertanian. Lain halnya di subak-bali
yang dibentuk atas dasar kepentingan bersama dilapangan pengairan kesatuan
hukum sebagai itu dijaman dulu. Sistem pengairan di bali sekarang ini hanyalah
peninggalan daripada irigasi rakyat, yang teknis, sosial, dan ekonomis yang
tinggi derajatnya di masa lampau. Di jaman modern ini dalam hal kontruksinya
badan hukum corporatif mempunyai empat
kewajiban yakni : otonomi, zelfbestuur, advies, bedrijftspraak.
E).
Penggabungan dan Pemecahan Desa
Desa-desa yang kecil
biasanya dua atau tiga buah
berhubung dengan sedikitnya penduduk atau sempitnya wilayah, digabungkan
menjadi desa satu kesatuan daerah hukum baru yang lebih besar. Selain daripada
desa-desa sama halnya dengan kampung atau pendukuhan yang menyendiri dengan
kampung atau pendukuhan lain menjadi satu desa kesatuan. Dalam pengertian tidak
termasuk dalam pertukaran wilayah dan pemberian wilayah oleh desa yang satu
dengan desa yangn lain untuk membulatkan batas desa atau untuk melepaskan
bagian desa yang terkurung dalam wilayah desa yang lain. Yang punya inisiatif
dalam hal menggabungkan atau pemisahan desa tersebut yakni pamong praja,
pemerintah daerah otonom atau rakyat desa yang bersangkutan sendiri. Dalam hal
ini agar upaya tersebut dapat berjalan dengan baik maka diperlukan suatu
peraturan dalam desa yang akan di gabungkan atau di pisahkan.
2. Bentuk Bentuk Desa
DESA ADAT
Pada dasarnya desa adat merupakan
kesatuan masyarakat hukum adat yang terbentuk berdasarkan tiga prinsip dasar
yaitu : genealogis, teritorial, dan/atau gabungan genealogis dengan teritorial.
Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang desa menjelaskan bahwa desa adat
merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara
genealogis dan teritorial. Desa adat atau yang sering disebut dengan nama lain
dari desa adat mempunyai karakteristik yang berbeda dengan desa pada umumnya,
karena desa adat sangat kuat terhadap pengaruh budaya/adatnya terhadap sistem
pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya
masyarakat desa.
Selain itu, Desa adat adalah sebuah
kesatuan masyarakat hukum adat yang secara historis mempunyai batas wilayah dan
identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat desa berdasarkan hak asal usul. Desa adat
memiliki perbedaan status, kedudukan dan fungsi dengan desa dinas (desa administratif
pemerintahan). Baik yang ditinjau dari segi pemerintahan maupun dari sudut
pandangan masyarakat.
Desa adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan desa,
pembangunan desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah
Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini desa dan desa adat mendapat perlakuan
yang sama dari pemerintah dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu, di masa depan
desa dan desa adat dapat melakukan perubahan wajah desa dan tata kelola
penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya
guna, serta pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.
Pada prinsipnya, desa adat merupakan warisan organisasi kepemerintahan
masyarakat lokal yang dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan
oleh pemimpin dan masyarakat desa adat itu sendiri agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan
identitas sosial budaya lokal. Desa adat memiliki hak asal usul yang lebih
dominan daripada hak asal usul desa sejak desa adat itu lahir sebagai komunitas
asli yang ada di tengah masyarakat.
Desa Adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama
dengan desa biasa, perbedaannya itu hanya dalam pelaksanaan hak asal-usul
terutama menyangkut pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan
wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan
berdasarkan susunan asli. Beberapa contoh desa adat yang ada di Indonesia
seperti huta atau nagori di Sumatera utara, gampong di Aceh, nagari di
Minangkabau, marga di Sumatera selatan, tiuh atau pekon di Lampung, desa
pakraman di Bali, banua dan wanua di Kalimantan, dan negeri di Maluku.
DESA PERDIKAN
Nama perdikan asalnya dari perkataan “merdika” , sedang
perkataan mrdika asalnya dari perkataan sanskrit, “maharddika”. Dalama hal ini
kata mahardika artinya tuan, tuanku, meester, sir. Dalam buku kawi
ramayana sebutan yang lebih dalam maka
maharddika (merdika) berarti bebas hidup lahir, yaitu merdeka terhadap diri
pribadi, dalam bahasa asing meester over
zichzelve, orang yang dapat menguasai dirinya sendiri menjadi orang (kawula)
yang sudah dapat manunggal dengan gustinja. Akan tetapi dalam dunia yang fana
ini terlalu banyak orang memakai perkataan merdika dalam pengertian bebas untuk
berbuat sekehendak pribadi.
Desa perdikan asalnya sudah dari
jaman agama hindu di jawa. Waktu itu oleh raja-raja telah diberikan anugrah
kepada orang-orang desa yang tertentu, berupa kebebasan dari membayar pajak
atau melakukan wajib kerja pajak pada raja atau kepala daerah. Disamping itu
kepada orang – orang atau desa-desa tadi diberikan hak-hak istimewa oleh raja,
misalnya hak untuk memakai song-song (pajung kebesaran), hak untuk memakan
makanan yang tertentu, yang biasanya hanya boleh dimakan oleh raja-raja dan
lain sebagainya. Pemberian hak atas tanah rupanya hanya berupa pemberian hak
untuk membuka hutan belukar tidak berupa pemberian tanah-tanah pertanian.
Daerah merdika itu langsung dibawahkan oleh raja, tidak oleh kepala daerah yang
lebih tinggi dari pada kepala desa perdikan (pangeran adipati, bupati). Raja
berhak untuk merobah adanya hak-hak istimewa tadi dan juga berhak untuk
mencabutnya.
Yang biasanya menjadi alasan bagi
raja memberi hak istimewa itu ialah misalnya. Pertama, untuk memajukan agama.
Kedua, untuk memelihara makam-makam raja atau orang lain yang dimuliakan dan
dianggap keramat. Ketiga, untuk memelihara pertapaan, pesantren, (dijaman agama
islam). Keempat, memberi ganjaran pada orang atau desa yang berjasa pada raja.
Dalam hal ini desa perdikan dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu :
a) Desa
merdika merupakan desa yang dibebaskan dari kekuasaan yang tertentu dari
sesuatu beban dan dari sesuatu kewajiban yang semuanya itu harus dipikul oleh
rakyat daerah-darah biasa. Istilah merdika biasa berlaku buat perseorangan dan
bisa berlaku buat sesuatu daearah (desa) denagn semua penduduknya. Apabila
segenap penduduk desa di bebaskan dari membayar pajak dan dari melakukan wajib
kerja buat raja atau kepala daerah diatas desa maka desa itu dinamakan desa
perdikan. Pemberian pembebasan semacam itu telah dilakukan sejak dulu kala
yakni di jaman agama hindu.
b) Desa
mutihan, keputihan atau putihan. Yang dinamakan desa putihan yakni desa
yang penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat kepada pemerintah agama,
yaitu beribadah, berpuasa dalam bulan ramadhan, dan menjalankan agama lainnya.
Mereka menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan lahir yang dikenal dalam
masyarakat jawa, sepeprti pukulan gamelan dirumahnya, joged, wayang, dsb. Orang
tersebut “putih”untuk membedakan dia dari orang abangan, ialah orang yang tidak
menepati perintah agama dalam lahirnya. Di dalam desa mutihan tersebut, kadang
terdapat satu atau dua guru agama, lalu didirikan sebuah pesantren dan masjid.
Kadang-kadang kepala desa adalah orang yang alim, maka kesenangan dapat dicegah
di desa tersebut dan kewajiban terhadap agama syarat-syarat dapat dimajukan.
Oleh karena itu, raja-raja sangat menghargai mereka yang berjasa dalam hal
memimpin rakyat untuk menepati perintah agama. Oleh karena itu untuk lebih mendorong
penduduk untuk menepati agama, maka mereka diberi kebebasan dalam persembahan
bulu bektu dan menjalankan wajib kerja. Ataupun kewajiban-kewajiban itu
dialihkan untuk diberikan kepada kepala desa buat kepentingan agama.
c) Desa
pakuntjen, istilah mutihan juga dipakai bagi mereka yang diwajibkan
memelihara makam yang keramat atau tempat lain yang dianggap sebagai keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban tersebut juga biasanya orang yang alim,
setidaknya ia harus bisa membaca ayat suci alquran (pembaca doa) dalam beberapa
upacara. Nama penjaga dan pemelihara makam atau lain tempat yang dianggap
keramat ialah pakuntjen. Tidak termasuk mereka yang berkewajiban menjaga masjid
atau pesantren. Akan tetapi kalau kewajiban itu dibebankan pada sejumlah penduduk
desa yang tertentu, maka desa itu dinamakan desa pakuntjen. Tapi apabila
kewajiban itu diberikan pada penduduk desa, maka itu mendapat sifat sebagai
desa perdikan.
d) Desa
midjen, perkataan midjen asalnya dari istilah pidji. Dipidji (pinidji)
artinya diistimewakan, dipilih dari yang lain. Di daerah swapraja maka oleh
orang susuhunan telah diadakan desa midjen bagi seorang guru agama yang sangat
dicintainya. Ia diberikan penghasilan raja dari satu atau dua desa sebagai
palungguh atau lungguh. Untuk itu ia harus menyediakan diri untuk raja. Oleh
sebab itu disebut midjen oleh raja.
Adapun
banyaknya desa perdikan oleh F.Fokkes dalam Tijdchrift Bataviaasch Genootschap
XXXI katja 447 diterangkan sejumlah 244, kebanyakan dikaresidenan bagelen (dulu
namanya krapjak), dibanyumas (dulu namanya selarong) dan madiun (dulu namanya
purbojo). Dalam hal ini tahun 1912 telah dibentuk daftar yang baru tentang
adanya desa perdikan ditanah gubermen dijawa dan madura, termuat dalam bijblab
No. 7847. Berikut ini banyaknya desa perdikan dijaman dulu : semarang (10
desa), rembang (1 desa), surabaya (4 desa), madura (19 desa dan 13 pendukuhan),
bayumas (41 desa), kedu (70 desa), madiun (19 desa), kediri (6 desa), jadi
jumlah ada 170 desa dan 13 pendukuhan. Dalam hal ini dalam berhjiblab itu
diterangkan juga sifatnya hak-hak istimewa yang dimiliki oleh desa-desa
tersebut, yaitu 142 desa dan pendukuhan dibebaskan dari membayar pajak bumi
sepenuhnya, kecuali 17 desa dimana dibebaskan dari membayar pajak penghasilan.
Dari jumlah yang tadi disebutkan dalam pembayaran pajak kepala hnaya 5 buah,
pajak pemotongan hewan 21, sedangkan 5
buah tidak dibebaskan dari melakukan wajib kerja. Adapun didaerah jawa barat
tidak terdapat daerah perdikan, hanya saja kabupaten tasikmalaya terdapat desa
pamidjahan, yang dahulu rupanya menjadi desa perdikan, langsung dibawah
kerajaan mataram.
Hak-hak istimewa yang diberikan pada
desa perdikan itu menimbulkan terjadinya kecurangan, yaitu terwujudnya
pembebasan-pembebasan lebih lanjut, yang tidak beralasan, menjadi tidak sah.
Oleh karena tahun 1873 diadakan penyelidikan tentang asal-usul hak-hak istimewa
itu dan berapa luasnya tanah yang mendapat kebebasan pajak, menurut ketetapan
yang semula. Setelah penyelidikan selesai, maka dalam berjiblab 4027 dan 4028 dimuat
register dari adanya desa-desa perdika itu, dimana tidak boleh adanya diadakan
perubahan kecuali dengan izi pemerintah. pad atahun 1887 daftar ini telah
diperbarui dan ditetapkan di Gouvernementsbesluit. Seperti telah kami
beritahukan diatas, maka dalam tahun 1912 daftar itu diperbarui kembali dalam
jilblab 7847, dimana desa perdikan ternyata turun dari 244 buah menjadi 170
desa dan 13 desa pendukuhan.
DESA MOTJO-PAT DAN MOTJO-LIMO
Sudah dari dulu kala maka diseluruh Jawa –tidak disemua
daerah- dikenal orang suatu ikatan semacam federasi, yang disusun dari sebuah
desa yang terletak ditengah-tengah dan empat desa yang terletak
disekelilingnya. Ikatan itu itu dinamakan Montjopat desa, ikatan lain yang
lebih besar dinamakan Montjo-limo desa. Jangan dikira bahwa susunan Montjo-limo
desa terjadi dari satu desa ditengah dan lima desa disekelilingnya.
Montjo-limo-desa disusun dari pada satu desa ditengah dan delapan desa
disekelilingnya, sebab empat desa yang pertama dihitung menjadi satu, kemudian
dirtambah empat desa baru, jumlah lima. Bentuk desa ini mempunyai dasar
ketuhanan menurut ilmu mistik yaitu ilmu manunggal dengan Tuhan (Ilmu Tauhid).
Daerah Montjo-pat atau
Montjo-limo-desa bukanlah suatu daerah hukum, iapun tidak mempunyai
pemerintahan sendiri, melainkan salah seorang kepala daripada desa-desa yang
tergabung ditunjuk sebagai kepalanya Montjo-pat atau Montjo-limo-desa itu.
Kepala itu diberi nama bermacam-macam. Di Banten, Tegal dan Rembang namanya
Lurah. DiCirebon, Kedu, Banyumas namanya Penatus. DiBagelen dan Wonosobo
namanya Glondong. DiMadiun dan Kediri dinamakan Palang atau kepalang, di
Semarang dan Pacitan namanya Panglawe. DiKarawang dan diPriangan dan sebagian
Kabupaten Lebak orang mengenal nama petinggi akan tetapi ini adalah terup
(troep) satu daerah yang meliputi beberapa desa, yang mendapat beban kewajiban
menurut Culturestelsel yang terkenal. Menurut Van Vollenhoven selain nama-nama
yang disebutkan tadi, juga dikenal nama Petinggi aris, lurah palang, lurang
petinggi, mantri petinggi.
Kepala-kepala itu mempunyai pembantu
yang diberi kewajiban untuk menyamapaikan perintahnya kepada kepala-kepala desa
dalam lingkungannya. Pembantu itu dinamakan ontjlang, plengkung, klingsi,
kumalingsi, panekar, pelaku, kebayan-aris, kebayan glondong. Pegawai itu
kadang-kadang juga mendapat tanah bengkok (ambtsveld) sebagi bayarannya.
Adapun Montjo-pat atau
Montjo-limo-desa itu dibentuk untuk mengusahakan dan mengatur kepentingan
bersama, untuk memberikan bantuan bersama jika ada bencana alam, kejahatan besar
seperti rampok dsb. Dalam berbagai-bagai kabupaten kewajiban daerah-daerah itu
diganti atau dikuatkan dengan peraturan pemerintah. Didesa Swapraja diJawa ada
sebuah Badan pengadilan rakyat yang dinamakan prapat,dari perkataan prapat,
sebab badan pengadilan itu dibentuk daripada empat kepala desa-desa yang
berbatasan. Perkataan Parapatan atau Parepatan yang artinya sama dengan
perkataan rapat, asalnya juga dari perkataan papat (empat).
Penghapusan daerah-daerah gabungan
itu dimulai dikaresidenan Semarang pada tahun 1849 dan 1850. Residen Semarang
berpendapat, bahwa kepala-kepala daerah-gabungan itu menjadi penghalang bagi
kepala-kepala desa dalam menjalankan kewajibannya dan melemahkan rasa
tanggungjawab. Setelah hal ini dilaporkan oleh direktur Binnenladsch Bestuur,
maka pemerintah Hindia Belanda atas timbangan kepala-kepala daerah (Para
residen) dengan besluitnya tanggal 28 Januari 1866 No. 24 menetapkan bahwa
menjelang jatuhnya putusan tentang penghapusan daerah-gabungan, jangan sampai
diisi lagi. Putusan pemerintah hanyalah begitu saja. Putusan tentang
penghapusan bangunan-hukum asli itu secara definitif belum pernah ada. Jadi
menurut hukum institut Montjo-pat dan Montjo-limo desa itu sekarang masih
memiliki kekuatan. Menurut Fokkens faedahnya institut itu adalah besar, menurut
pengalaman didaerah Banten. Oleh sebab itu, maka lama sesudah tahun 1866
jabatan petinggi-aris di Kabupaten Malang masih berlaku terus, begitu juga
jabatan Lurah dikabupaten Serang, sedang didaerah-daerah Kedu dan Rembang nama jabatan
penatus, glondong dan lurah dan
besluit-besluit residen masih dipakai terus sebagai pangkat kehormatan
yang diberikan sebagai tanda jasa kepada kepala-kepala desa karena lama
bekerja.
Didaerah Probolinggo-lama,
Basuki-lama dan Jepara kemudian diadakan seorang pegawai serupa kepala daerah
Montjo-pat, akan tetapi ia tidak seraya mengepalai sebuah desa, menjadi ia
adalah semacam perebekel di Bali, pegawai mana diberi nama tampakarsa,
jagakarsa, pelawangan, aris, bekel. Jabatan inipun sejak 1866 berangsur-angsur
dihapuskan, akan tetapi sejak tahun 1874 rupa-rupanya diganti dengan jabatan
asisten-wedono, yang mengepalai onder-distrik, sedang distrik dikepalai oleh
wedono.
Ditilik dari sejarahnya, maka
onder-distrik sekarang dibeberapa daerah dinamakan kecamatan, sedang camat
dijaman dulu adalah nama pejabat, yang diberi tugas menarik pajak –dalam
jiwanya adalah pengganti daripada daerah Montjjo-pat atau Montjo-limo dijaman
lampau. Dengan ini kami hendak menyampaikan bahwa daerah kecamatan adalah
daerah yang terjadi dari pertumbuhan keadaan, menjadi bukan daerah bikinan
(kunstmatig) melainkan daerah yang bersejarah (histori gegroied) dan hidup
dalam hati rakyat. Oleh karena itu maka daerah kecamatan dapat dipakai sebagai
pegangan untuk menyusun daerah otonom baru yang paling bawah, apabila desa
ditimbang terlalu kecil dan lemah atau atas pertimbangan lain (cultureel) tidak
seharusnya diberi otonom secara modern. Camat adalah satu-satunya kepala
daerah, yang memimpin kesatuan-kesatuan desa dan pemerintah desa. Maju atau
tidaknya desa-desa, cepat atau lambatnya kemajuan didesa sangat dipengaruhi
oleh baik-buruknya pimpinan seorang camat.
Oleh karena itu, maka sungguh tidak
berlebih-lebihan, kalau kami mengatakan, bahwa kecamatan dengan camatnya
mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam pertumbuhan tata pemerintahan daerah
menurut sarat-sarat yang lebih modern. Dalam riwayatnya seperti yang kami
uraikan diatas tadi, dari sebelum jaman penjajahan yang sangat berat, sampai
memasuki jaman kemerdekaan ternyata bahwa ia tahan uji.
3. Nama
Lain dari Desa
NAGARI DAN
WANUS (NAMA LAIN DESA)
Sejarah
terbentuknya pemerintahan Desa, sampai sekarang belum diketahui secara pasti
kapan awal mulanya. Jika mengacu prasasti Kawali di Jawa Barat sekitar tahun
1350 M, dan prasasti Walandit di daerah Tengger di Jawa Timur pada tahun 1381
M, Desa sebagai unit terendah dalam struktur pemerintahan sudah ada sejak
dahulu dan bukan bentukan Belanda.
Pada era
otonomi yang dimulai dari munculnya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah, menyebutkan “Desa atau yang disebut dengan nama lain”.
Tidak lagi sekedar Desa dan Kelurahan, seperti UU sebelumnya, sehingga muncul
kembali sebutan-sebutan wilayah yang setara dengan desa, seperti Nagari,
Kampung (Lampung, Papua), Gampong, Nagori, Pekon, Dusun (Bungo), Lembang
(Toraja). Meskipun dalam prakteknya, tetap dianggap setara dengan desa.
1. NAGARI
Nagari merupakan bentuk sistem kekerabatan dan pemerintahan
yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang kebanyakan bermukim
di Provinsi Sumatra Barat. Arti nagari dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005:771) adalah wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin oleh seorang
penghulu. Batas-batas nagari ditentukan oleh alam, seperti sungai, hutan,
bukit, dan sebagainya. Namun agaknya batas-batas seperti ini sekarang tidak
lagi signifikan dengan diterapkannya pembagian wilayah secara administratif.
Keluasan wilayah nagari sama dengan luas tanah yang dimiliki oleh masing-masing
suku pendiri nagari dan daerah kantong. Daerah kantong adalah tanah yang berada
diantara tanah ulayat masing-masing suku.
De Rooy dalam Amir MS (2001:47) menyebutkan nagari yang paling tua adalah Pariangan (wilayah ini
sekarang masuk di Kabupaten Tanah Datar). Dari nagari inilah kemudian
masyarakat Minangkabau menyebar dan menempati berbagai daerah. Daerah yang baru
tersebut kemudian berkembang menjadi bentuk nagari baru, salah satu contohnya
menurut salah satu versi tambo, adalah nagari kota gadang (Azizah Etek,
et.al.,2007:4)
Sebelum bangsa Belanda menjejakan kaki di tanah Sumatera,
nagari merupakan sistem pemerintahan yang berdiri sendiri. Tidak ada
pemerintahan diatas nagari. Nagari
merupakan “republik mini” yang diperintah secara demokratis oleh anak
nagari, sebutan untuk penduduk nagari (Etek, et.al.,2007:6). Dalam pemerintahan
nagari, pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan umum
berdasarkan kepada musyawarah mufakat.
Sebagai masyarakat tradisional, anak-anak nagari
menggantugkan mata pencaharian dari sawah, ladang, dan hasil ternak. Bahkan,
tanah merupakan sesuatuyang tinggi kedudukannya dalam masyarakat Minangkabau.
Orang nagari pantang menjual tanah karena tanah dianggap sebagai harta pusaka.
Bertindak sebagai pengawas harta tersebut adalah Mamak yang bertugas mengawasi
dan membagi-bagikan sawah kepada saudara-saudara perempuannya secara adil.
Ketatnya peraturan adat dalam sistem nagari inilah yang mencegah terjadinya
pembagian yang semena-mena. Hal tersebut menghindari adanaya perselisishan
antar keluarga (Elizabeth E. Graves, 2007:14-15).
Kehidupan
sosial masyarakat minang diatur oleh hukum adat yang berlaku. Hukum adat
tersebut adalah Undang nan Empat yang mengatur beberapa hal, yaitu:
Undang-undang Luhak dan Rantau, Undang-undamg Nagari, Undang-undang dalam
Nagari, serta Undang-undang nan Duapuluh.
Undang-undang
Luhak dan Rantau adalah hukum adat untuk wilayah-wilayah Minang dan satuan
genealogis penduduknya. Aturan ini berkembang beberapa daerah Minangkabau yang
lebih dahulu berkembang, yaitu Luhak Agam, Luhak Limapuluh koto, dan Luhak
Tanah Datar.
Undang-undang
Nagari memuat berbagai aturan pembentuk nagari. Bunyi undang-undang tersebut
adalah : nagar bakaampek suku /Dalam suku babuah paruik/Basawah baladang/
babalai bamusajik/ Balubuah batapian.
Undang-undang
dalam Nagari mengatur tata kehidupan masyarakat dalam sebuah nagari
Undang-undang tersebut berbunyi: Barek samo dipikue, ringan samo
dijinjing/Saciok bak ayam, sedancing bak basi/Sakik basilau, mati
bajanguak/Salah batimbang, hutang babayie.
Undang-undang nan Duopuluh mengatur persoalan
dalam nagari terkait dengan kriminalitas: jenis tindakan kejahatan dan tuduhan
dan dugaan tindak kejahatan. Beberapa tindak kejahatan yang disebutkan dalam
undang-undang itu, antara lain membuat kekacauan umum, berbuat tidak senonoh,
merampok, mencuri, menyerang dan membunuh, menipu memberi bahan mengandung
racun untuk membunuh, dan membakar bangunan atau rumah dengan sengaja.
Seiring dengan
perkembangan zaman, nagari bukan lagi merupakan bentuk pemerintahan yang
berdiri sendiri. Sejak pemerintah Indonesia terbentuk nagari Mengalami
pasang-surut sampai saat ini, nagari merupakan pemerintahan diwilayah setingkat
desa/kelurahan.
Proses Pembentukan Nagari
Pembentukan
nagari melewati proses yang panjang, sepanjang sejarah kehidupan masyarakat
tinggal di nagari tersebut. Pembentukan nagari selalu berhubungan dengan proses
persebaran penduduk, perpindahan atau penggabungan kelompok masyarakat. Ada
empat tahap proses terbentuknya nagari, yaitu banjar, tartak, koto, dan
akhirnya nagari (Akira oki, 1978:4).
a. Banjar
Banjar atau
disebut juga kabul merupakan tahap awal pembentuk nagari. Masyarakat iini masih
belum terlalu lama menetap disatu tempat dan masih tinggal dibangunan panggung
sederhana bertiang empat (dangau). Penduduk yang tinggal di banjar hanya
berasal dari satu suku dengan pencaharian dan berladang.
b. Taratak
Taratak
mempunyai arti bercocok tanam, sedangkan kampung tempat para penduduknya
tinggal disebut dusun. Di Dusun ini tinggal dua suku asal. Dengan adanya dua
suku yang berbeda ini, terbuka kemungkinan diantara mereka menikah dan
mengembangkan keturunan. Setelah masyarakat dusun ini berkembang, mereka akan
turun ke kaki bukit dan bermukim disana. Mereka cenderung memilih permukiman
dipinggir sungai atau anak-anak sungai. Diantara mereka sudah mulai membangun
rumah secara permanen. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi koto.
c. Koto
Koto terdiri
dari tiga suku yang berbeda. Perkembangan penduduk tahap ketiga ini semakin
pesat sehingga mereka membutuhkan lahan yang lebih luas. Biasanya mereka akan
mencari tempat-tempat yang lebih luas untuk perkampungan mereka. Namun, pilihan
para penduduk ini tetap sama dengan permukiman sebelumnya, yaitu daerah-daerah
disekitar aliran sungai. Sebagian besar penduduknya sudah membangun rumah
permanen. Perkembangan ini kemudian masuk pada tahap terakhir, terbentuknya
nagari.
d. Nagari
Ada empat suku
asal yang menghuni permukiman ini yang sekaligus menjadi salah satu syarat
terbentuknya nagari. Para penduduk mulai membangun permukiman yang lebih luas,
aman dan lebih nyaman. Masing-masing keluarga mulai menguasai tanah ulayat di
hutan, ladang-ladang yang terletak dilereng-lereng bukit, dan sawah yang tak
jauh dari perkampungan. Pada tahap ini masyarakat mulai membentuk perangkat pemerintahan
dan bentuk pemerintahan, meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Syarat Pembentukan nagari
- Syarat Fisik
Amir M.S
(2001:58-60) menyebut beberapa persyaratan fisik yang harus dipenuhi oleh
sebuah nagari adalah sebagai berikut:
Basosok
Bajurami
Adalah syarat
pertama yang harus dipenuhi untuk menjadi nagari, yaitu batas-batas kenagarian.
Batas-batas ini ditentukan melalui musyawarah dengan para penghulu
nagari-nagari tetangga. Oleh karena itu, sebuah nagari harus mempunyai daerah
asli atau daerah asal yang mereka lindungi dan pertahankan.
Balabuah
Batapian
Balabuah
batapian berarti nagari juga harus mempunyai sarana dan prasarana jalan
lingkungan dan jalan penghubung dengan nagari atau daerah lain. Selain itu,
nagari juga harus mempunyai prasarana yang mendukung kelancaran transportasi di
kanagarian tersebut.
Barumah
batanggo
Masyarakata
yang berdomisili di dalam sebuah nagari harus mempunyai rumah tangga atau
tempat tinggal. Dalam masyarakat Minang adalah rumah panggung yang dinamakan
rumah gadang.
Bakorong
bakampung
Artinya nagari
tersebut mempunyai tali pengikat yang menghubungkan satu kelompok dengan
kelompok lain. Dalam hal ini, biasanya dalam sebuah nagari penduduknya masih
mempunyai ikatan keturunan menurut adat yang akan membuat mereka “satu rasa”.
Hal tersebut menjadi salah satu ikatan solidaritas diantara anggota masyarakat.
Bakorong bakampuang didasarkan pada pepatah: korong kampuang mambatehkan dago
dagi (korong tempat menghabiskan silang selisih), kampuang tampek mahinggokan
sumbang salah (kampung tempat kembali mengadukan nasib diri)
Basawah
baladang
Sebuah nagari
juga harus mempunyai daerah persawahan dan perladangan sebagai sumber mata
pencaharian bagi warganya. Sawah dan ladang adalah lambang perekonomian
masyarakat. Masyarakat minangkabau menganggap tanah milik mereka sebagai
sesuatu yang luhur. Setiap orang mempunyai tanah pusaka yang merupakan warisan
leluhur mereka dan harus mereka jaga. Apabila ada yang melanggar batas-batas
tanah pusaka tersebut, maka orang tersebut dianggap tidak mempunyai rasa malu
dan kesopanan.
Babaklai
Bamusajik
Artinya
mempunyai balai adat tempat menggekar musyawarah dan mesjid sebagai tempat
ibadah. Balai adat merupakan lambang keadilan dan perdamaian. Selain sebagai
tempat pertemuan untuk membahas masalah-masalah kemasyarakatan secara umum,
balai adat juga menjadi tempat untuk mendamaikan mereka yang berselisih.
Perundingan tersebut dilakukan dengan penuh kejujuran, keadilan, dan rasa
kekeluargaan.
Sedangkan
masjid, sebagai lambang persatuan umat islam, merupakan tempat ibadah dan
menyelenggarakan pendidikan, terutama pendidikan agama dan pendidikan moral.
Balai adat dan masjid adalah dua hal yang wajib ada dalam sebuah nagari. Dua
ruang inilah yang menjadi simbol untuk menuntun kehidupan masyarakat minang.
Bapandam
Pakuburan
Nagari harus
mempunyai bapandan pakuburan atau pusara tempat berkubur. Pemakaman adalah
unsur yang tidak bisa ditinggalkan oleh masyarakat dalam sebuah wilayah. Konsep
pemakaman yang dikenal masyarakat minang seperti masyarakat pada umumnya, yaitu
mayat dikubur didalam tanah.
-Syarat non
fisik
Nagari juga
membutuhkan persyaratan nonfisik yang lebih mengarah pada aspek sosial
kemasyarakatan, misalnya dari segi suku, keturunan, struktur pemerintahan, dan
lain-lain.
Beberapa syarat tersebut antara lain:
Kaampek suku
Kaampek suku
berarti bahwa suatu permukiman baru disebut sebagai nagari kalau penduduk
dipermukiman tersebut sudah terdiri dari sekurang-kurangnya empat suku (empat
silsilah keturunan) berbeda yang setiap suku mempunyai penghulu andiko. Keempat
suku tersebut harus terdiri dari dua bagian suku yang tidak serumpun sehingga
diantara kedua kelompok suku tersebut dapat melakukan perkawinan. Hal ini
karena dalam perkawinan, masyarakat minangkabau menganut paham
eksogami-matrilineal, artinya seorang lelaki tidak boleh menikah dengan
perempuan dari suku asalnya sendiri.
Proses
pembentukan nagari sendiri bermula dari banjar, yang kemudian menjadi taratak
(dusun), kemudian koto, baru nagari. ada kemungkinan sebuah nagari hanya
terdiri dari satu suku. Jika demikian, syarat tersebut tidak terpenuhi dan
harus menggabungkan suku lain yang tidak serumpun.
Buah Paruik
Pengertian suku
harus memenuhi persyaratan tersendiri, yaitu babuah paruik yang artinya satu
garis keturunan. Struktur ini didasarkan kepada garis matrilineal yang berlaku
dalam masyarakat Minangkabau. Urutan keturunan itu adalah niniek (yang berada
di urutan paling atas terus kebawah), gaek, uo nenek, dan ego aku sebagai anak perempuan. Orang-orang
yang se-niniek disebut orang yang sa-suku, orang yang se-gaek disebut orang
yang sapuruik, orang-orang yang se-nenek disebut sa-jurai, dan orang yang
se-ibu disebut orang yang sa-mande.
Tuo kampung
Ketika kumpulan
sapuruik menjadi besar dan bertambah banyak keluarga, mereka harus mengangkat
seorang mamak tertua atau yang dituakan sebagai “Tua kampung”. Tugas “tua
kampung” antara lainmengurusi harta pusaka dibawah pengawasan penghulu suku.
Jadi, tugas “tua kampung” semacam panungkek atau pembantu penghulu suku namun
tanpa gelar datuk.
Dibeberapa
wilayah, pembantu penghulu suku ini dinamakan istilah tungganai. Oleh karena
itu tungganai berarti “mamak rumah yang dituakan atau yang tua”. Pembantu
penghulu suku ini sering juga disebut mamak pusako.
Tungganai
Semua saudara
laki-laki dari ibu disebut mamak rumah, sedangkan saudara laki-laki tertua dari
ibu disebut tungganai. Tugas tungganai adalah mengurus persoalan-persoalan
dalam rumah tangga, baik dalam urusan harta pusaka, perkawinan, urusan pegang
gadai, membimbing kemenakan, dan urusan lainnya. Tungganai juga mengatur
pembagian tugas dalam hal tolong-menolong dan yang akan memegang pemufakatan
keluarga serta antarkeluarga.
Perangkat Nagari
Nagari
mempunyai perangkat pemerintahan adat sendiri, namun, saat ini pemerintahan
adat tersebut tidak ada lagi. Perangkat pemerintahan dalam nagari terdiri dari
empat jeni, yaitu:
Penghulu
Penghulu
bertugas menghukum anak buah atau kemenakan yang bersalah dan melanggar adat.
Malin
Tugas perangkat
ini adalah menghukum anak buah atau kemenakan atau anak nagari yang salah atau
melakukan pelanggaran terhadap syarak.
Manti
Tugas manti
adalah menyelesaikan dan memberikan sanksi ketika ada perselisihan dikalangan
anak nagari.
Dubalang
Perangkat ini
bertugas mengamankan nagari kalau terjadi huru-hara, keributan, maupun
peperangan.
Pemerintahan nagari
Setelah
beberapa suku yang membentuk nagari tinggal dan menetap disuatu wilayah
untu/dalam waktu lama, mereka mulai membentuk suatu pemerintah. Pemerintahan
ini bukan dalam pengertian pemerintahan yang serumit yang ada sekarang ini.
“mamak rumah” yang paling tua mengepalain tiap-tiap keluarga mereka. Dari sini
kemudian terbentuk pemerintahan suku yang tiap-tiap suku dikepalai oleh seorang
penghulu. Penghulu harus menguasai persoalan keluarga dan ia bertindak sebagai
penengah jika ada perselisihan antarsuku.
Semua kepala suku itulah yang nanti akan mengepalai
hal-ihwal persukuan dala nagari. penghulu yang mengepalai keluarga tertua
disebut “penghulu andiko” kata “andiko” berasal dari bahasa kawi yang berarti memerintah.
Dalam kepemimpinannya, para penghulu selalu meminta pendapat dari
keluarga-keluarga suku yang bersangkutan ketika menangani suatu masalah. Semua
persoalan diselesaikan secara musyawarah.
Penghulu
dipilih langsung oleh setiap suku dengan pertimbanagan tertentu, misalnya orang
yang paling tua atau dituakan dan paling bijaksana. Pemilihan tersebut juga
dilaksanakan secara musyawarah. Bentuk pemerintahan seperti sebenarnya
merupakan bentuk demokrasi murni yang sudah dimiliki oleh masyarakat minangkabau.
Sistem kenagarian ini sudah ada sebelum kemerdekaan
Indonesia, kerajaan pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi
nagari-nagari yang ada di Minangkabau.
Pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,
dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, kemudian Presiden Indonesia dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang
UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya
pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka
keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang
menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman
daerah, yang memiliki makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal
usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pemerintah tetap
menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus
tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia
WANUA
Dalam bahasa Minahasa Kawanua sering di artikan sebagai
penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu “Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata
Kawanua telah diyakini berasal dari kata Wanua.
Wanua dalam Bahasa Melayu Tua (Proto Melayu) diartikan
sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa
Melayu tua telah tersebar diseluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan
pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan
sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat
diartikan sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata wanua diartikan
sebagai negara atau desa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang
diartikan sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih
merupakan satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang
kemudian mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing: Makarua
Siouw, Makatelu Pitu, Telu Pasiowan
Karena sistem Taranak melahirkan bentuk pemerintahan
turun-temurun, maka pada abad ke-17 terjadi suatu persengketaan antara ketiga taranak
tersebut. Persengketaan terjadi karena taranak Makatelu Pitu, mengikat
pernikahan dengan "Makarua Siouw", sehingga leluhur Muntu-untu dan
Mandey dari "Makatelu Pitu" muncul sebagai kelompok Taranak yang
terkuat dan memegang pemerintahan pada seluruh Wanua - yang waktu itu terdiri
dari Tountumaratas, Tountewu dan Toumbuluk
Dengan bertambahnya penduduk Minahasa, maka Tountumaratas
berkembang menjadi Tounkimbut dan Toumpakewa. Untuk menyatakan kedua kelompok
itu satu asal, maka dilahirkan suatu istilah Pakasa’an yang berasal dari kata
Esa. Pakasa’an berarti satu yakni, Toungkimbut di pegunungan dan Toumpakewa di
dekat pantai. Lalu istilah Walak dimunculkan kembali. Perkembangan selanjutnya
nama walak-walak tua di wilayah Tountemboan berganti nama menjadi walak
Kawangkoan Tombasian, Rumo’ong dan Sonder.
Kemudian kelompok masyarakat Tountewo membelah menjadi dua
kelompok yakni: Tounsea dan Toundano.
Menurut Drs. Corneles Manoppo, masyarakat Toundano terbelah
lagi menjadi dua yakni: Masyarakat yang bermukim di sekitar danau Tondano dan
Masyarakat "Toundanau" yang bermukim di wilayah Ratahan dan Tombatu. Masyarakat
di sekitar Danau Tondano membentuk tiga walak yakni; Tondano Touliang, Tondano
Toulimambot dan Kakas-Remboken. Dengan hilangnya istilah Pakasaan Tountewo maka
lahirlah istilah Pakasa’an Tonsea dan Pakasa’an Tondano. Pakasa’an Tonsea
terdiri dari tiga walak yakni Maumbi, Kema dan Likupang. Abad 18 Tounsea hanya
mengenal satu hukum besar (Mayor) atau "Hukum Mayor", wilayah Maumbi,
Likupang dan Kema di perintah oleh Hukum kedua, sedangkan Tondano memiliki
banyak mayor-mayor.
Masyarakat Tombuluk sejak zaman Watu Pinawetengan abad ke-7
tetap utuh satu Pakasa’an yang terdiri dari tiga walak yakni, Tombariri,
Tomohon dan Sarongsong. Dengan demikian istilah Wanua berkembang menjadi dua
pengertian yaitu: Ro’ong atau negeri dan pengertian sempit, artinya Negeri yang
sama dengan Ro’ong (desa atau kampung). Jadi, kata Wanua, memiliki dua unsur
yaitu: Ro’ong atau negeri dan Taranak atau penduduk. Ro’ong itu sendiri
memiliki unsur: Wale, artinya rumah dan Tana. Kata Tana dalam bahasa Minahasa
punya arti luas yaitu mencakup Talun (hutan), dan Uma (kebun atau kobong)
Kobong terbagi menjadi dua yaitu : "kobong kering"
dan "kobong pece" (sawah). Kalau kita amati penggunaan kata Wanua
dalam bahasa Minahasa misalnya ada dua orang yang bertempat tinggal di desa
yang sama kemudian bertemu di hutan. Si A bertanya pada si B:"Mange
wisa" (mau kemana ?) Kemudian B menjawab: "Mange witi uma"
(pergi ke kobong), si B balik bertanya pada si A:"Niko mange wisa"
(kamu hendak kemana ?) si A menjawab: "Mange witi Wanua" (mau ke
negeri, maksudnya ke kampung dimana ada rumah-rumah penduduk). Contoh lain
adalah kata "Mina - Wanua". Kata " Mina" artinya, pernah
ada tapi sekarang sudah tidak ada. Maksudnya, tempo dulu di tempat itu ada
negeri dan sekarang sudah tidak ada lagi (negeri lama) karena negeri itu telah
berpindah ke tempat lain. Kata "Mina Amak " (Amak = Bapak) adalah
sebutan pada seseorang lelaki dewasa yang dahulu ada tapi sekarang sudah tidak
ada, karena meninggal.
Kata Wanua yang punya pengertian luas dapat kita lihat pada
kalimat "Rondoren um Wanua...". Kata Wanua dalam kalimat ini artinya;
Negeri-negeri di Minahasa dan tidak berarti hanya satu negeri saja.
Maksudnya... melakukan pembangunan di seluruh Minahasa. Jadi sudah termasuk
negeri-negeri dari walak-walak dan pakasa’an yang didiami seluruh etnis atau
sub-etnis Minahasa.
Masa Kini
Jadi dapat dilihat bahwa pengertian utama dari kata Wanua
lebih mengarah pada pengertian sebagai wilayah adat dari Pakasa’an (kesatuan
sub-etnis) yang sekarang terdiri dari kelompok masyarakat yang mengaku turunan
leluhur Toar & Lumimu’ut. Turunan dalam arti luas termasuk melalui
perkawinan dengan orang luar, Spanyol, Belanda, Ambon, Gorontalo, Jawa,
Sumatera dan sebagainya. Orang Minahasa boleh mendirikan Wanua di luar
Minahasa, tapi orang Tombulu tidak boleh mendirikan negeri Tombulu di wilayah
Totemboan atau sebaliknya. Inilah yang dimaksud dengan adat kebiasaan.
Meletakkan "Watu I Pe-ro’ong" atau batu rumah menjadi negeri yang
baru dilakukan oleh Tona’as khusus, misalnya, bergelar Mamanua (Ma’Wanua =
Pediri Negeri) yang tau batas-batas wilayah antara walak yang satu dengan walak
yang lain, jangan sampai salah tempat hingga terjadi perang antara walak.
Setelah meneliti arti kata Wanua dari berbagai segi, kita
teliti arti awalah Ka pada kata Kawanua. Beberapa awalan pada kata Ka-rete
(rete=dekat) berdekatan rumah, artinya teman tetangga. Ka-Le’os (Le’os=baik),
teman berbaik-baikan (kekasih). Kemudian kata Ka-Leong (leong=bermain) teman
bermain.
Dari ketiga contoh di atas, dapat diprediksi bahwa awalan Ka
memberi arti teman, jadi, Ka-wanua dapat diartikan sebagai Teman Satu Negeri,
Satu Ro’ong, satu kampung. Untuk lebih jelasnya kita ambil contoh melalui syair
lagu "Marambak" (naik rumah baru)... "Watu tinuliran umbale
Mal’lesok ungkoro’ ne Kawanua..." artinya batu tempat mendirikan tiang
rumah baru, bersimbolisasi menepis niat jahat dan dengki dari teman satu
negeri. Misalnya, batu rumah baru itu di Tombulu bersimbol menjauhkan dengki
sesama warga Tombulu satu kampung, dan tidak ditujukan pada kampung atau walak
lain misalnya Tondano dan Tonsea.
Demikian juga cerita tua-tua Minahasa dinamakan
"sisi’sile ne tou Mahasa" (buku A.L Waworuntu) dan "A’asaren Ne
Tou Manhesa" artinya cerita-cerita orang Minahasa. Tidak ditulis
"A’asaren ne Kawanua" atau cerita orang Kawanua. Disini terlihat
bahwa orang Minahasa di Minahasa tidak menamakan dirinya Kawanua. Orang
Minahasa di Minahasa menamakan dirinya "Orang Minahasa" dan bukan
"Orang Kawanua" selanjutnya baru diterangkan asal sub-etnisnya
seperti, Tondano, Tontemboan, Tombatu dan sebagainya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa istilah Kawanua dilahirkan oleh masyarakat orang Minahasa di
luar Minahasa sebagai sebutan identitas bahwa seseorang itu berasal dari
Minahasa, dalam lingkungan pergaulan mereka di masyarakat yang bukan orang
Minahasa, misalnya di Makasar, Balikpapan, Surabaya, Jakarta, Padang, Aceh.
Orang Minahasa yang sudah beberapa generasi berada di luar
Minahasa menggunakan istilah Kawanua untuk mendekatkan diri dengan daerah asal,
dan walaupun sudah kawin-mawin antara suku, masih merasa dekat dengan Wanua
lalu melahirkan Jawanua, Bataknua, Sundanua, dan lain sebagainya.
4. Kesimpulan
dan Saran
Jadi, desa adalah adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat,
hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Secara umum
ada lima faktor terbentuknya desa yaitu: Bentuk genalogis (berdasarkan
keturunan), bentuk teritorial (berdasarkan tempat tinggal),
genalogis-teritorial (campuran, keturunan dan tempat tinggal), bentuk
masyarakat hukum korporatif (berdasarkan kepentingan) dan berdasarkan
penggabungan dan pemecahan desa. Ada
beberapa bentuk desa diantaranya Desa Adat, desa perdikan dan desa
motjopat-motjolimo. Desa adat adalah desa yang terbentuk berdasarkan tiga
faktor yaitu faktor genalogis, teritorial dan genalogis-teritorial (campuran).
Desa adat adalah desa yang memiliki pengaruh budaya terhadap sistem
pemerintahan lokal, sumber daya manusia lokal dan kehidupan sosial budaya
masyarakat desa, contoh dari desa adat adalah desa huta di sumatera utara,
gampong di Nagroe Aceh Darussalam dan lain lain. Desa motjo-pat dan motjo-limo
adalah bentuk desa yang terdiri dari federasi empat atau lima desa yang
memiliki satu pemimpin Daerah Montjo-pat atau Montjo-limo-desa bukanlah suatu
daerah hukum, iapun tidak mempunyai pemerintahan sendiri, melainkan salah
seorang kepala daripada desa-desa yang tergabung ditunjuk sebagai kepalanya
Montjo-pat atau Montjo-limo-desa itu. Kepala itu diberi nama bermacam-macam. Di
Banten, Tegal dan Rembang namanya Lurah. Di Cirebon, Kedu, Banyumas namanya
Penatus. Di Bagelen dan Wonosobo namanya Glondong. Di Madiun dan Kediri
dinamakan Palang atau kepalang, di Semarang dan Pacitan namanya Panglawe.
DiKarawang dan diPriangan dan sebagian Kabupaten Lebak orang mengenal nama
petinggi akan tetapi ini adalah terup (troep) satu daerah yang meliputi
beberapa desa, yang mendapat beban kewajiban menurut Culturestelsel yang
terkenal. Selain itu ada beberapa nama lain dari desa yaitu nagari dan wanua.
Nagari adalah wilayah atau sekumpulan kampung yang dipimpin oleh seorang
penghulu. Batas-batas nagari ditentukan oleh alam, seperti sungai, hutan,
bukit, dan sebagainya. Namun agaknya batas-batas seperti ini sekarang tidak
lagi signifikan dengan diterapkannya pembagian wilayah secara administratif.
Keluasan wilayah nagari sama dengan luas tanah yang dimiliki oleh masing-masing
suku pendiri nagari dan daerah kantong. Wanua Dalam bahasa Minahasa Kawanua
sering di artikan sebagai penduduk negeri atau wanua-wanua yang bersatu
“Mina-Esa” (Orang Minahasa). Kata Kawanua telah diyakini berasal dari kata
Wanua.
Wanua dalam Bahasa Melayu Tua (Proto Melayu) diartikan
sebagai wilayah pemukiman. Mungkin karena beberapa ribu tahun yang lalu, bangsa
Melayu tua telah tersebar diseluruh wilayah Asia Tenggara hingga ke kepulauan
pasifik. Setelah mengalami perkembangan sejarah yang cukup panjang, maka
pengertian kata Wanua juga mengalami perkembangan. Tadinya kata Wanua diartikan
sebagai wilayah pemukiman, kini berkembang menjadi desa, negeri bahkan dapat diartikan
sebagai negara. Sementara dalam bahasa Minahasa, kata wanua diartikan sebagai
negara atau desa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa istilah Wanua - yang diartikan
sebagai tempat pemukiman - sudah digunakan sejak orang Minahasa masih merupakan
satu taranak ketika berkediaman di pegunungan Wulur-Mahatus, yang kemudian
mereka terbagi menjadi tiga kelompok Taranak, masing-masing: Makarua Siouw,
Makatelu Pitu, Telu Pasiowan
Sudah dijelaskan diatas secara lengkap tentang desa, sejarah
terbentuknya serta nama nama lain dari desa. Pada saat ini kondisi desa tidak
semakmur dahulu, kebijakan presiden Jokowi tentang dana desa yang sangat sukar
sekali untuk cair padahal dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk perbaikan
infrastruktur seperti jalan dan jembatan serta irigasi untuk meningkatkan
produksi pertanian, kebijakan pemerintah makin menyulitkan pencairan dana untuk
desa karena berdasarkan Dalam
undang-undangnya dana desa baru bisa disalurkan kalau ada peraturan pedesaan.
Nah belum tentu kepala desa mengerti membuat kepala desa, diperlukan
sosialisasi yang kuat dari pemerintah setempat terkait pembuatan peraturan desa
serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa atau RPJMDes.
Selain itu tercantum dalam misi Nawa Cita angka 2 dan 3 yang
berbunyi “Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.” dan “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daaerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.”, serta semanat gotong royong yang diusung,
maka Pemerintahan kedepan dituntut
memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat untuk terlibat aktif dalam
pengawasan pelaksanaan program.
Komisi Desa dan Perdesaan adalah konklusi yang pantas untuk
dipertimbangkan, dimana kedudukan dan
tugas komisi ini seperti halnya komisi
pengawas haji yaitu berkedudukan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden, mempunyai tugas melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap
Penyelenggaraan UU Desa,
Sedang dalam hal tugas Komisi Desa dan Perdesaan adalah
memantau dan menganalisis kebijakan operasional
Penyelenggaraan UU Desa sampai di tingkat daerah, malakukan analisis
hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat; menerima
masukan dan saran masyarakat mengenai pelaksanaan UU Desa; dan merumuskan
pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan Presiden dalam Pembangunan Desa
dan Perdesaan.
Selayaknya Komisi yang ada, maka Komisi Desa dan Perdesaan
bisa beranggotakan unsur Pemerintah dan Masyarakat dan atau hanya terdiri dari
unsur masyarakat.