Nama : Wiji
Astuti
NPM :
170410130021
TUGAS MATA KULIAH PROSES LEGISLATIF DI INDONESIA
1. Lebih
tepat mana apakah Perpu sejajar dengan UU atau tidak?
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (“Perpu”) disebutkan dalam Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
“Dalam hal
ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah
pengganti undang-undang.”
Penetapan Perpu yang dilakukan oleh Presiden ini juga
tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) yang berbunyi:
“Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.”
Penting untuk kita ketahui
letak/kedudukan Perpu dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1)
UU 12/2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi;
dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Makna Kedudukan Perpu di Bawah UU
Jika dilihat dari hierarki peraturan
perundang-undangan di atas kita dapat mengetahui bahwa UU dan Perpu itu
memiliki kedudukan yang sejajar/sederajat. Lalu, kapan suatu Perpu
“kadang-kadang dianggap/dikatakan” berada di bawah UU dan kapan suatu Perpu
“kadang-kadang dianggap/dikatakan” berada sejajar/sederajat UU? mengacu pada
pendapat Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H., dalam bukunya yang
berjudul Ilmu
Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya.
Maria menjelaskan bahwa Perpu mempunyai hierarki
setingkat dengan UU. Akan tetapi, menurut Maria, Perpu ini kadang-kadang
dikatakan tidak sama dengan UU karena belum disetujui oleh DPR (Ibid,
hal. 96).
Masih mengenai kedudukan Perpu ini, Maria Farida
dalam buku lainnya berjudul Ilmu
Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya mengatakan bahwa selama ini UU selalu dibentuk oleh
Presiden dengan persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut
Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh DPR dan
Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perpu dibentuk oleh
Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu hal ihwal kegentingan yang
memaksa.” (hal. 80).
Dari penjelasan Maria dari dua bukunya di atas kita
dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya UU dan Perpu dalam hierarki peraturan
perundang-undangan memang memiliki kedudukan yang sama, hanya saja keduanya
dibentuk dalam keadaan yang berbeda. UU dibentuk oleh Presiden dalam keadaan
normal dengan persetujuan DPR, sedangkan Perpu dibentuk oleh Presiden dalam
keadaan genting yang memaksa tanpa persetujuan DPR. Kondisi inilah yang
kemudian membuat kedudukan Perpu yang dibentuk tanpa persetujuan DPR
kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di bawah UU.
Makna Kedudukan PERPU Sejajar/Setingkat dengan UU
Maria juga menjelaskan bahwa Perpu ini jangka waktunya
terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada
DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR,
akan dijadikan UU. Sedangkan,apabila Perpu itu tidak disetujui oleh DPR, akan
dicabut. Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan Undang-Undang
sehingga fungsi maupun materi muatan Perpu adalah sama dengan fungsi maupun
materi muatan Undang-Undang (opcit hal. 94). Jadi, saat suatu Perpu
telah disetujui oleh DPR dan dijadikan UU, saat itulah biasanya Perpu dipandang
memiliki kedudukan sejajar/setingkat dengan UU. Hal ini disebabkan karena Perpu
itu telah disetujui oleh DPR, walaupun sebenarnya secara hierarki
perundang-undangan, fungsi, maupun materi, keduanya memiliki kedudukan yang
sama meski Perpu belum disetujui oleh DPR.
Contoh Perpu yang telah disetujui oleh DPR dan
dijadikan UU adalah UU No. 15 Tahun
2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Menjadi UU.
Dasar hukum:
Referensi:
2. Analisis
tentang Eksitensi TAP MPR!
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, maka TAP MPR dapat dikatakan sebagai salah satu sumber
hukum. Meskipun dalam Undang-undang sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, TAP MPR tidak
dimasukkan dalam hierarki perundang-undang, bukan berarti keberadaan TAP MPR
tidak diakui. Akan tetapi norma yang diatur dalam setiap TAP MPR sejak tahun
1966 hingga tahun 2002 tetap diakui sebagai sebuah produk hukum yang berlaku
sepanjang tidak digantikan dengan Undang-undang formal yang ditetapkan
setelahnya. Pemberlakuaan UU No. 12 Tahun 2011 yang memasukkan kembali
ketatapan MPR kedalam hierarki peraturan perundang-undangan tidak memberikan
kemungkinan kepada MPR untuk dapat membentuk Ketetapan MPR yang baru, melainkan
hanya mempertegas pemberlakuan Ketetapan MPR yang lama sebagai wujud pemberian
legalitas kepada Ketetapan MPR yang masih berlaku, didalam hierarki
peraturan perundang-undangan, TAP MPR memiliki kedudukan lebih tinggi
dibandingkan dengan UU, Perpu, PP, Perpres dan Perda. TAP MPR yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa dijabarkan melalui
penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah
diputuskan yang mana saja TAP MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak Tahun 1966
hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak berlaku lagi.
Dalam TAP MPR
Nomor I/MPR/2003 TAP MPR diberikan status hukum baru yang dikelompokkan ke
dalam 6 (enam) pasal, antara lain :
· Pasal 1 tentang Ketetapan MPR/MPRS yang dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan)
· Pasal 2 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan
berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)
· Pasal 3 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan
tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum
Tahun 2004 (8 Ketetapan)
· Pasal 4 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan
tetap berlaku sampai terbentuknya UU (11 Ketetapan)
· Pasal 5 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan
masih berlaku sampai ditetapkannya peraturan tata tertib yang baru oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan umum Tahun 2004 (5
Ketetapan)
· Pasal 6 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik Karena bersifat final (enimalig),
telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. (104 Ketetapan)
Berdasarkan pengelompokan di atas, maka TAP MPR yang
masih dianggap berlaku tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total
sebanyak 13 TAP MPR yang masih berlaku. TAP MPR yang masih berlaku tersebut,
adalah :
1. Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS.1966
tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi
terlarang di seluruh Wilayah Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan
larangan setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme.
- Ketetapan
MPR No. XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi
Ekonomi.
- Ketetapan
MPR No V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
- Ketetapan
MPRS No. XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera. (dalam
perkembangan terakhir telah terbentuk UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar,
Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan)
- Ketetapan
MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN.
- Ketetapan
MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,
Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam NKRI.
- Ketetapan
MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
- Ketetapan
MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Indonesia.
- Ketetapan
MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
- Ketetapan
MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
- Ketetapan
MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
- Ketetapan
MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan KKN.
- Ketetapan
MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan Sumber
Daya Alam.
Ketiga belas TAP MPR inilah
yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan
pengelompokan 11 TAP MPR yang sudah tidak berlaku akibat telah dibentukknya UU
(Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003) dan 3 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat
ini (Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003). Adapun Ketetapan MPR No V/MPR/1999
tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, secara otomatis tidak berlaku lagi
akibat norma yang diatur didalamnya sudah terlaksana. Dengan demikian, sisa 2
TAP MPR yang masih berlaku hingga saat ini akibat status hukumnya yang tidak
dicabut atau diganti melalui UU.
3. Perbedaan
Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden, yang benar yang mana?
Perbedaan Keputusan
Dengan Peraturan, suatu
keputusan (beschikking) selalu bersifat individual, kongkret dan berlaku
sekali selesai (enmahlig). Sedangkan, suatu peraturan (regels)
selalu bersifat umum, abstrak dan berlaku secara terus menerus (dauerhaftig).
Dengan
demikian, Keputusan Presiden (Keppres) berbeda dengan Peraturan Presiden
(Perpres). Keputusan Presiden adalah norma hukum yang bersifat konkret,
individual, dan sekali selesai (contoh: Keppres No. 6/M Tahun 2000 tentang
Pengangkatan Ir. Cacuk Sudarijanto sebagai Ketua Badan Penyehatan
Perbankan Nasional). Sedangkan Peraturan Presiden adalah norma hukum yang
bersifat abstrak, umum, dan terus-menerus (contoh: Perpres No. 64 Tahun 2012
tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas Untuk
Transportasi Jalan).
Kecuali
untuk Keputusan Presiden yang sampai saat ini masih berlaku dan mengatur hal
yang umum contohnya Keppres No. 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Objek Vital
Nasional, maka berdasarkan Pasal 100 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (“UU 12/2011”), Keppres tersebut harus dimaknai sebagai peraturan.
Hal ini
merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU 12/2011 yang berbunyi:
“Semua Keputusan
Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan,
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Jadi,
Keputusan Presiden berbeda dengan Peraturan Presiden karena sifat dari
Keputusan adalah konkret, individual, dan sekali selesai sedangkan sifat dari
Peraturan adalah abstrak, umum, dan terus-menerus. Bila Keppres bersifat
mengatur hal yang umum, maka harus dimaknai sebagai Peraturan.
4. Menurut
UU No. 12 Tahun 2011 apakah peraturan desa masuk Perda/tidak?
Berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 sebagai Undang-Undang
pengganti dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan itu terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jadi Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota masuk dalam sistem hierarki, sedangkan Peraturan Desa
menjadi tidak masuk dalam sistem hierarki. Baru dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 peraturan desa disebut-sebut atau tersirat
diatur. Secara utuh Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
menyatakan sebagai berikut :
(1)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Jadi Peraturan Desa berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 dipisahkan eksistensinya sebagai Peraturan
Daerah sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2004. Dengan kata
lain posisi peraturan desa sekarang ini menunjukkan bukan merupakan peraturan
daerah lagi.
Referensi : jurnal.unpad.ac.id/jsp/article/download/4100/2448
No comments:
Post a Comment