BIAYA
POLITIK JELANG PEMILU DALAM PERSPEKTIF PUBLIC CHOICE
ESSAY
OLEH
:
WIJI
ASTUTI
170410130021
ILMU
PEMERINTAHAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
2014
Biaya politik merupakan isu yang hangat
diperbincangkan jelang pemilu, biaya politik diperhitungkan makin mahal seiring
dengan banyaknya orang yang ingin menduduki posisi wakil rakyat. Indonesia
membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan, kualitas, moral dan emosional
yang baik, bila biaya politik sangat tinggi mungkinkah pemimpin yang terbaik
itu muncul karena banyak hambatan sistem
politik yang tidak terbuka bagi mereka yang punya kapasitas tetapi terhalang
biaya politik tinggi maka kita perlu mengarahkan untuk mengandalkan kemampuan
bukan uang untuk menjadi pemimpin. Biaya politik juga sering kali dipersamakan
dengan politik uang apalagi sebagai masyarakat awam ada yang bependapat jika
tidak diberi uang tidak akan memilih, dan sebaliknya akhir-akhir ini ada slogan
yang mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya. Kita sebagai pemilih juga
harus tahu apa itu politik uang yang terlarang dengan biaya politik itu sendiri.
Politik uang itu sendiri yaitu ketika seorang calon mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak berhubungan langsung
untuk berkomunikasi dengan masyarakat, misalnya memberikan uang untuk “berkumpul”
agar si calon dapat memperkenalkan diri
dan mendapatkan suara, persepsi saya bahwa tindakan tersebut sudah menjadi
bentuk lain dari pembelian suara. Tak heran ini bukan malah mengatasi masalah
dalam masyarakat malah menambahnya dengan perbuatan curang yang berujung pada
tindak korupsi bila si calon terpilih, karena ingin mengembalikan biaya politik
yang dekeluarkannya selama kampanye. Jika suatu perilaku buruk dibiasakan dan dianggap wajar,
maka perilaku buruk tersebut akan menjadi perilaku yang menetap dan dianggap
biasa-biasa saja. Politik uang yang dianggap wajar tanpa
disadari telah menjadi tradisi buruk perpolitikan di negeri ini. Pastinya,
politik uang mencederai sebuah cita-cita dan idealisme politik. Politik uang
menghambat proses penciptaan lembaga Negara yang bersih dan bertanggung jawab. Wajar
jika rakyat awam tidak dapat membedakan antara biaya politik dan politik uang,
namun apabila seorang calon wakil rakyat yang tidak tahu itu saya rasa tidaklah
pantas, melihat kenyaataannya ketika saya melihat suatu program televisi yang
mengusung debat calon wakil rakyat, dari kelima calon wakil rakyat dari semua
jawabannya kurang bisa membedakan antara biaya politik dan politik uang itu
sendiri. Apa yang harus kita perbuat untuk melakukan sebuah perubahan adalah
bagaimana seharusnya menyikapi fenomena yang terjadi saat ini, menurut teori
pilihan public, Menurut Samuelson & Nordhaus (1995) teori
pilihan publik ialah salah satu cabang ilmu ekonomi
yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan
kepentingan masyarakat (publik). Teori pilihan publik dapat digunakan untuk
mempelajari perilaku para actor politik maupun sebagai petunjuk bagi
pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan publik yang paling
efektif. Yang menjadi subjek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih, partai
politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan, yang semuanya secara
tradisional lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik. Dalam model
pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena permainan yang
memungkinkan terjadinya pertukaran di antara
warga Negara, partai-partai politik, pemerintah
dan birokrat. Seperti halnya dalam permainan olahraga dan permainan pasar
ekonomi, permainan dalam pasar politik juga memiliki aturan-aturan yang harus
dipatuhi dan para pemain dengan tujuan utama memenangkan pertandingan. Aturan
yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem
pemilihan. Adapun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih
sebagai konsumen dan pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai
legislatif atau politikus yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang
menginterprestasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan
mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut
sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan. Bila
kita gambarkan pemilu itu sebagai pasar dimana rakyat adalah penjual barang dan
calon wakil rakyat adalah pembeli, atau bisa dikatakan bahwa rakyat mempunyai
hak suara dan calon wakil rakyat ingin membelinya itu seharusnya ada aturan
yang tegas dimana seorang calon wakil rakyat tidak boleh membeli suara rakyat
dengan “sembarangan”, tapi harus tunjukan kapasitas kepemimpinnannya
sebagaimana yang saya kemukakan sebelumnnya. Setelah saya kemukakan sebelumnya
bahwa biaya politik tinggi ataupun politik uang itu sangat membahayakan dan
menghambat kemajuan bangsa, maka sebenarnya kita sendirilah sebagai mahasiswa
yang menjadi ujung tombak perubahan, karena pada saat ini mediapun sudah tidak
lagi bersikap netral karena banyaknya calon wakil rakyat sendiri yang mempunyai
media massa tersebut sehingga arah politiknya lebih condong pada pemilik media
massa tersebut. Adapun di antara
faktor-faktor penyebab terjadinya politik uang antara lain: Tidak adanya
komitmen para pejabat, pegawai, kelompok tertentu, dan sebagian masyarakat
dalam memegang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak adanya komitmen pejabat, pegawai,
atau sebagaian masyarakat dalam memegang niali-nilai moral misalnya: jujur,
berkata benar. Keinginan
untuk memperoleh jabatan secara instan. Dampak yang ditimbulakan oleh adanya praktek politik uang di
antaranya adalah: Korupsi, ini merupakan dampak terbesar dari adanya praktek politik uang,
karena ini merupakan salah satu cara para pejabat yang terpilih untuk
mengembalikan biaya-biaya pada saat pemilu adalah dengan cara korupsi. Atau bisa kita
katakan korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah di investasikan
ketika melakukan kampanye. Merusak tatanan Demokrasi Dalam konsep
demokrasi kita kenal istilah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Ini berarti rakyat berhak menentukan
pilihannya kepada calon yang di kehendakinya tanpa ada intervensi dari pihak lain. Namun dengan adanya praktek politik uang maka semua itu solah dalam
teori belaka. Karena masyarakat terikat oleh sebuah parpol yang memeberinya uang dan
semisalnya. Karena sudah diberi uang masyarakat merasa berhutang budi kepada
parpol yang memberinya uang tersebut, dan satu-satunya cara untuk membalas jasa
tersebut adalah dengan memilih/mencoblos parpol tersebut. Sehingga motto pemilu yang bebas, jujur,
dan adil hanya sebuah kata-kata yang terpampang di tepi-tepi jalan tanpa pernah
di realisasikan. Akan makin tingginya biaya politik Dengan adanya praktek politik uang , maka sebuah parpol
di tuntut untuk lebih memeras
kantong, mengingat sudah terbiasanya masyarakat dengan pemberian uang dan
barang lainnya atau bisa kita
katakan parpol yang lebih banyak mengeluarkan biaya akan keluar menjadi
pemenang. Oleh karena itu parpol-parpol tersebut akan berusaha memberikan uang
dan semisalnya kepada
masyarakat melebihi parpol pesaingnya, agar masyarakat memilihnya.
Sebenarnya biaya politik dapat ditekan apabila para calon wakil rakyat dapat
berhubungan baik dengan konstitue bukan hanya pada saat akan pemilihan, namun
jauh-jauh hari dari itu untuk menunjukan kapasitasnya sebagai pemimpin dan juga
untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat dari pemerintah,
sehingga dengan hal tersebut dapat bersinergis dengan perannya sebagai wakil
rakyat untuk menyampaikan suara rakyat untuk dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan. Kalau dalam sistem pemilu terbuka saja biaya politik itu sangat
tinggi bagaimana sistem pemilu tertutup yang dilakukan dalam internal partai
sendiri, itu tak jauh berbeda pasalnya setiap calon wakil rakyat yang ingin
mendapat nomor teratas harus mengeluarkan dana besar kepada petinggi parpol.
politik yang berbiaya tinggi itu akan semakin mendegradasi makna dan pengertian
politik. Politik tidak lagi sebagai seni menggunakan kekuasaan untuk melayani
rakyat, melainkan seni menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan
kroni. Dan inilah yang sedang terjadi dan dianut oleh banyak orang. Terus
terang, harus ada koreksi terhadap sistem demokrasi kita. sistem demokrasi
sekarang sangat bertolak-belakang dengan cita-cita demokrasi yang diusung para
pendiri bangsa. Bung Karno pernah berulangkali menegaskan, demokrasi hanyalah
alat untuk mencapai cita-cita kemakmuran rakyat. Artinya, kalau praktek
demokrasi itu bertolak-belakang dengan cita-cita kemakmuran rakyat, berarti
harus diganti. Kita harus tahu garis pemisah yang jelas antara biaya politik
dengan politik uang. Dan pemerintah juga harus memberikan peraturan yang jelas
tentang pemisahannya dan penegakan hukum terhadap parpol yang melanggarnya. Sementara
itu kita harus juga berkontribusi, usaha yang dapat dilakukan mahasiswa yaitu misalnya
membuat surat kabar mahasiswa tanpa keberpihakan pada pihak manapun
(netralitas) mengadakan kajian politik pada lembaga kemahasiswaan agar tidak
terombang ambing pada isu yang ada, tetap membela yang benar tidak membela yang
bayar. Selanjutnya informasikan kepada rakyat agar mereka mengetahui siapakah
pemimpin yang layak untuk mengatur nasib mereka. Setelah lahir mahasiswa yang
memiliki idealisme kuat maka mahasiswa telah siap terjun dalam pemilu. Dalam
memilih para pemimpin bangsa , berpihaklah pada pemimpin yang apik bukan
pemimpin yang mengkhianati rakyat. Pemimpin yang tidak memiliki wajah munafik
saat membicarakan nasib rakyat. Tidak hanya ikut serta dalam proses pemilihan,
namun juga mahasiswa diharapakan ikut mengawasi jalannya pemilu. Mungkin itu
adalah suatu perubahan kecil yang bisa membawa dampak besar bagi bangsa kita. Dan kita sebagai generasi
penerus bangsa jangan sampai merasa lelah untuk membawa perubahan yang lebih
baik.
Daftar Pustaka
Rachbini, Didik J. 2006. Ekonomi politik dan teori
pilihan publik. Bogor : Ghalia
http://hikari30.wordpress.com/tag/essay-peran-mahasiswa-dalam-pemilu-2014/ diakses tanggal 5 April 2014
http://politik.kompasiana.com/2014/02/04/politik-uang-dan-biaya-politik-apa-bedanya-sih-632616.html diakses tanggal 6 April 2014
http://obrolanpolitik.blogspot.com/2013/03/menelisik-sumber-biaya-politik-indonesia.html diakses tanggal 7 April 2014
http://sahabudinrasyid.blogspot.com/2012/06/makalah-politik-uag-money-politic.html diakses tanggal 7 April 2014
No comments:
Post a Comment