Wednesday, 30 April 2014

Essay Biaya Politik, Mata Kuliah Ekonomi Politik



BIAYA POLITIK JELANG PEMILU DALAM PERSPEKTIF PUBLIC CHOICE


ESSAY


OLEH :
WIJI ASTUTI
170410130021





ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2014
Biaya politik merupakan isu yang hangat diperbincangkan jelang pemilu, biaya politik diperhitungkan makin mahal seiring dengan banyaknya orang yang ingin menduduki posisi wakil rakyat. Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan, kualitas, moral dan emosional yang baik, bila biaya politik sangat tinggi mungkinkah pemimpin yang terbaik itu muncul karena banyak hambatan  sistem politik yang tidak terbuka bagi mereka yang punya kapasitas tetapi terhalang biaya politik tinggi maka kita perlu mengarahkan untuk mengandalkan kemampuan bukan uang untuk menjadi pemimpin. Biaya politik juga sering kali dipersamakan dengan politik uang apalagi sebagai masyarakat awam ada yang bependapat jika tidak diberi uang tidak akan memilih, dan sebaliknya akhir-akhir ini ada slogan yang mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya. Kita sebagai pemilih juga harus tahu apa itu politik uang yang terlarang dengan biaya politik itu sendiri. Politik uang itu sendiri yaitu ketika seorang calon mengeluarkan uang  untuk sesuatu yang tidak berhubungan langsung untuk berkomunikasi dengan masyarakat, misalnya memberikan uang untuk “berkumpul” agar si calon dapat  memperkenalkan diri dan mendapatkan suara, persepsi saya bahwa tindakan tersebut sudah menjadi bentuk lain dari pembelian suara. Tak heran ini bukan malah mengatasi masalah dalam masyarakat malah menambahnya dengan perbuatan curang yang berujung pada tindak korupsi bila si calon terpilih, karena ingin mengembalikan biaya politik yang dekeluarkannya selama kampanye. Jika suatu perilaku buruk dibiasakan dan dianggap wajar, maka perilaku buruk tersebut akan menjadi perilaku yang menetap dan dianggap biasa-biasa saja. Politik uang yang dianggap wajar tanpa disadari telah menjadi tradisi buruk perpolitikan di negeri ini. Pastinya, politik uang mencederai sebuah cita-cita dan idealisme politik. Politik uang menghambat proses penciptaan lembaga Negara yang bersih dan bertanggung jawab. Wajar jika rakyat awam tidak dapat membedakan antara biaya politik dan politik uang, namun apabila seorang calon wakil rakyat yang tidak tahu itu saya rasa tidaklah pantas, melihat kenyaataannya ketika saya melihat suatu program televisi yang mengusung debat calon wakil rakyat, dari kelima calon wakil rakyat dari semua jawabannya kurang bisa membedakan antara biaya politik dan politik uang itu sendiri. Apa yang harus kita perbuat untuk melakukan sebuah perubahan adalah bagaimana seharusnya menyikapi fenomena yang terjadi saat ini, menurut teori pilihan public, Menurut Samuelson & Nordhaus (1995) teori pilihan publik ialah salah satu cabang ilmu ekonomi yang mempelajari bagaimana pemerintah membuat keputusan yang terkait dengan kepentingan masyarakat (publik). Teori pilihan publik dapat digunakan untuk mempelajari perilaku para actor politik maupun sebagai petunjuk bagi pengambilan keputusan dalam penentuan pilihan kebijakan publik yang paling efektif. Yang menjadi subjek dalam telaah pilihan publik adalah pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan, yang semuanya secara tradisional lebih banyak dipelajari oleh pakar-pakar politik. Dalam model pilihan publik, politik tidak dipandang sebagai arena permainan yang memungkinkan terjadinya pertukaran di antara warga Negara, partai-partai politik, pemerintah dan birokrat. Seperti halnya dalam permainan olahraga dan permainan pasar ekonomi, permainan dalam pasar politik juga memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi dan para pemain dengan tujuan utama memenangkan pertandingan. Aturan yang harus diikuti dalam permainan politik adalah konstitusi dan sistem pemilihan. Adapun yang menjadi pemain dalam pasar politik adalah para pemilih sebagai konsumen dan pembeli barang-barang publik, dan wakil rakyat sebagai legislatif atau politikus yang bertindak layaknya seorang wirausahawan yang menginterprestasikan permintaan rakyat terhadap barang-barang publik dan mencarikan jalan sekaligus memperjuangkan agar barang-barang publik tersebut sampai pada kelompok-kelompok pemilih yang memilih mereka dalam pemilihan. Bila kita gambarkan pemilu itu sebagai pasar dimana rakyat adalah penjual barang dan calon wakil rakyat adalah pembeli, atau bisa dikatakan bahwa rakyat mempunyai hak suara dan calon wakil rakyat ingin membelinya itu seharusnya ada aturan yang tegas dimana seorang calon wakil rakyat tidak boleh membeli suara rakyat dengan “sembarangan”, tapi harus tunjukan kapasitas kepemimpinnannya sebagaimana yang saya kemukakan sebelumnnya. Setelah saya kemukakan sebelumnya bahwa biaya politik tinggi ataupun politik uang itu sangat membahayakan dan menghambat kemajuan bangsa, maka sebenarnya kita sendirilah sebagai mahasiswa yang menjadi ujung tombak perubahan, karena pada saat ini mediapun sudah tidak lagi bersikap netral karena banyaknya calon wakil rakyat sendiri yang mempunyai media massa tersebut sehingga arah politiknya lebih condong pada pemilik media massa tersebut. Adapun di antara faktor-faktor penyebab terjadinya politik uang antara lain: Tidak adanya komitmen para pejabat, pegawai, kelompok tertentu, dan sebagian masyarakat dalam memegang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak adanya komitmen pejabat, pegawai, atau sebagaian masyarakat dalam memegang niali-nilai moral misalnya: jujur, berkata benar. Keinginan untuk memperoleh jabatan secara instan. Dampak yang ditimbulakan oleh adanya praktek politik uang di antaranya adalah: Korupsi, ini merupakan dampak terbesar dari adanya praktek politik uang, karena ini merupakan salah satu cara para pejabat yang terpilih untuk mengembalikan biaya-biaya pada saat pemilu adalah dengan cara korupsi. Atau bisa kita katakan korupsi dilakukan untuk mengembalikan modal yang telah di investasikan ketika melakukan kampanye. Merusak tatanan  Demokrasi Dalam konsep demokrasi kita kenal istilah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Ini berarti rakyat berhak menentukan pilihannya kepada calon yang di kehendakinya tanpa ada intervensi dari pihak lain. Namun dengan adanya praktek politik uang maka semua itu solah dalam teori belaka. Karena masyarakat terikat oleh sebuah parpol yang memeberinya uang dan semisalnya. Karena sudah diberi uang masyarakat merasa berhutang budi kepada parpol yang memberinya uang tersebut, dan satu-satunya cara untuk membalas jasa tersebut adalah dengan memilih/mencoblos parpol tersebut. Sehingga motto pemilu yang bebas, jujur, dan adil hanya sebuah kata-kata yang terpampang di tepi-tepi jalan tanpa pernah di realisasikan. Akan makin tingginya biaya politik Dengan adanya praktek politik uang , maka sebuah parpol di tuntut untuk lebih memeras kantong, mengingat sudah terbiasanya masyarakat dengan pemberian uang dan barang lainnya atau bisa kita katakan parpol yang lebih banyak mengeluarkan biaya akan keluar menjadi pemenang. Oleh karena itu parpol-parpol tersebut akan berusaha memberikan uang dan semisalnya kepada masyarakat melebihi parpol pesaingnya, agar masyarakat memilihnya. Sebenarnya biaya politik dapat ditekan apabila para calon wakil rakyat dapat berhubungan baik dengan konstitue bukan hanya pada saat akan pemilihan, namun jauh-jauh hari dari itu untuk menunjukan kapasitasnya sebagai pemimpin dan juga untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan rakyat dari pemerintah, sehingga dengan hal tersebut dapat bersinergis dengan perannya sebagai wakil rakyat untuk menyampaikan suara rakyat untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Kalau dalam sistem pemilu terbuka saja biaya politik itu sangat tinggi bagaimana sistem pemilu tertutup yang dilakukan dalam internal partai sendiri, itu tak jauh berbeda pasalnya setiap calon wakil rakyat yang ingin mendapat nomor teratas harus mengeluarkan dana besar kepada petinggi parpol. politik yang berbiaya tinggi itu akan semakin mendegradasi makna dan pengertian politik. Politik tidak lagi sebagai seni menggunakan kekuasaan untuk melayani rakyat, melainkan seni menggunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri dan kroni. Dan inilah yang sedang terjadi dan dianut oleh banyak orang. Terus terang, harus ada koreksi terhadap sistem demokrasi kita. sistem demokrasi sekarang sangat bertolak-belakang dengan cita-cita demokrasi yang diusung para pendiri bangsa. Bung Karno pernah berulangkali menegaskan, demokrasi hanyalah alat untuk mencapai cita-cita kemakmuran rakyat. Artinya, kalau praktek demokrasi itu bertolak-belakang dengan cita-cita kemakmuran rakyat, berarti harus diganti. Kita harus tahu garis pemisah yang jelas antara biaya politik dengan politik uang. Dan pemerintah juga harus memberikan peraturan yang jelas tentang pemisahannya dan penegakan hukum terhadap parpol yang melanggarnya. Sementara itu kita harus juga berkontribusi, usaha yang dapat dilakukan mahasiswa yaitu misalnya membuat surat kabar mahasiswa tanpa keberpihakan pada pihak manapun (netralitas) mengadakan kajian politik pada lembaga kemahasiswaan agar tidak terombang ambing pada isu yang ada, tetap membela yang benar tidak membela yang bayar. Selanjutnya informasikan kepada rakyat agar mereka mengetahui siapakah pemimpin yang layak untuk mengatur nasib mereka. Setelah lahir mahasiswa yang memiliki idealisme kuat maka mahasiswa telah siap terjun dalam pemilu. Dalam memilih para pemimpin bangsa , berpihaklah pada pemimpin yang apik bukan pemimpin yang mengkhianati rakyat. Pemimpin yang tidak memiliki wajah munafik saat membicarakan nasib rakyat. Tidak hanya ikut serta dalam proses pemilihan, namun juga mahasiswa diharapakan ikut mengawasi jalannya pemilu. Mungkin itu adalah suatu perubahan kecil yang bisa membawa dampak besar  bagi bangsa kita. Dan kita sebagai generasi penerus bangsa jangan sampai merasa lelah untuk membawa perubahan yang lebih baik.

















Daftar Pustaka
Rachbini,  Didik J. 2006. Ekonomi politik dan teori pilihan publik. Bogor : Ghalia













No comments:

Post a Comment