WIJI ASTUTI
170410130021
POTENSI
KONFLIK LAUT CINA SELATAN
Laut cina selatan
merupakan wilayah cekungan laut yang dibatasi oleh 10 Negara yaitu Cina, Vietnam, Philipina,
Malaysia, Burma, Taiwan, Indonesia, Kamboja, Brunei Darusalam, dan Singapura. Merupakan
kawasan yang strategis karena lebih dari 4.000 kapal melewati jalur tersebut
setiap tahunnya, memiliki potensi yang melimpah berupa ikan dan minyak yang
tidak kurang dari 28 milyar barel ( US Geological survey). Dalam cekungan ini
terdapat dua kepulauan yaitu kepulauan spratly dan paracel, namun pada
perkembangannya kemudaian potensi konflik yang lebih mengemuka adalah kepulauan
spratly yang terdiri dari 350 pulau. karena melibatkan beberapa Negara ASEAN
sekaligus, sedangkan kepulauan paracel hanya melibatkan Vietnam dan Cina. Sejak
1970 klaim terhadap wilayah tersebut meningkat pesat. Sengketa terhadap hal ini
tidak bisa dianggap sepele karena pada akhirnya akan menimbulkan ketegangan
pada Negara-negara sekitarnya. Inti masalah yang diperdebatkan adalah seputar
klaim wilayah perbatasan (territorial
zone). Indonesia sebagai salah satu Negara yang berada dikawasan Asia
tenggara memang tidak secara langsung terlibat didalam konflik perebutan
wilayah laut Cina selatan tesebut. Namun apabila stabilitas regional ASEAN
terancam karena sengketa laut cina selatan tersebut. Kedekatan geografis
Indonesia dengan hampir seluruh wilayah Negara yang berkonflik tersebut
menyebabkan keamanan dan strategis Indonesia dapat terpengaruh jika konflik.
Pada dasarnya laut cina selatan adalah kawasan no man’s island disebabkan oleh fakta bahwa kawasan ini tidak
dimiliki oleh siapapun. Setidaknya terdapat tiga faktor yang membuat salah satu
kepulauan di laut cina selatan yaitu spratly dinilai strategis, Pertama,
penguasaan terhadap pulau tersebut akan sangat menentukan garis batas Negara
dan terhadap jangkauan luas Zona ekonomi ekslusif (ZEE). Kedua, wilayah
kepulauan spratly merupakan bagian dari jalur lalulintas internasional baik
untuk kapal dagang maupun kapal militer, Sehingga akan menentukan bagi posisi
geostrategis. Ketiga, lautan disekitar kepulauan ini disinyalir mengandung
cadangan minyak dan gas alam yang sangat besar. Setidaknya ada 6 Negara yang
mengklim wilayah kepulauan Spartly yaitu Cina, Taiwan, Vietnam, Philipina,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Kelima Negara diatas kecuali Brunei Darussalam
mempunyai klaim dan penamaan terhadap pualu-pulau dikepulauan Spratly,
sementara Brunei Darussalam hanya mengklaim wilayah laut dikepulauan spratly
sebagai bagian dari Zona ekonomi
eksklusif Negaranya. Klaim semakin gencar dilakukan semenjak ditemukannya fakta
tentang kekayaan minyak yang terkandung di Kepulauan Spratly. Selain itu
letaknya yang strategis menjadi daya tarik selanjutnya setelah potensi minyak
tersebut. Upaya penyelesaian sengketa sudah lama dilakukan, namun sengketa
masih saja berlanjut hingga sekarang. Akibatnya banyak terjadi konflik antara
negara bersengketa. Upaya yang dapat dilakukan dan sudah dilakukan antara lain
perjanjian bilateral, perjanjian multilateral dan perjanjian pengelolaan minyak
dan gas bumi secara bersama. Lebih signifikan sebenarnya dari kajian
geopolitik, artinya jika menguasai Spratly berarti akan mengontrol lintasan
rute pelayaran antara Pasifik atau Asia Timur menuju Lautan Hindia. Lain
Spratly lain pula Kepulauan Paracel, Meski daratannya berkarang lagi tandus,
namun urgensi Cina atas kepulauan tersebut tak kalah penting dibanding Spratly.
Oleh karena dari aspek keamanan bisa mengawasi gerak navigasi di bagian utara
Laut Cina Selatan. Secara geostrategi, menguasai dua kepulauan tersebut bisa
menjadi “batu loncatan” menyerang Daratan Asia. Tatkala Cina menerbitkan
kebijakan ”Empat Modernisasi” Era 1978-an bidang administrasi, politik,
ekonomi, dan pasar keuangan. Sepertinya harus dibarengi hasrat menjadi kekuatan
maritim yang dominan di Laut Cina Selatan. Maka semenjak itulah Laut Cina
Selatan, di mata Negeri Tirai Bambu menjadi kawasan strategis bernilai politis
dan ekonomis sebab 80% impor minyaknya melalui jalur ini. Disini tersirat makna
bahwa selain terkandung potensi konflik tinggi terkait distribusi minyak,
mengharuskan ia mutlak bekerjasama dengan negara-negara lain di sekitar
kawasan. Singkat kata bahwa Kepulauan Spratly dan Paracel menjadi rebutan
berbagai negara karena faktor geopolitik, baik berupa kandungan minyak dan gas
bumi maupun geostrategy possition di jalur perairan internasional. Dalam
perspektif politik luar negeri Indonesia, kebangkitan dan geliat Cina pada
tahun-tahun mendatang mutlak harus ada pantauan secara khusus mengingat embrio
konflik di kawasan tersebut ada lagi nyata. Laut Natuna sangat vital bagi Cina
maupun Indonesia karena merupakan jalur utama menuju kota-kota penting di Asia
Timur. Bahwa gangguan terhadap komunikasi, pelayaran, ketegangan di sekitar kawasan
Natuna niscaya berdampak negatif pada kepentingan Indonesia dan kestabilan
regional. Masalah tak kalah penting ialah sejak 8 Mei 1992, The Chinese
National Offshore Oil Company milik Cina dan Crestone Energy Company dari
Amerika Serikat (AS) melakukan explorasi dan exploitasi minyak dan gas bumi di
kawasan seluas 25.000 km di wilayah Nansha, Barat Laut Cina Selatan dimana
lokasinya dekat dengan Natuna. Ada dugaan pemakaian teknologi (baru) dalam
exploitasi minyak dasar laut konon mampu merambah ke wilayah Indonesia tanpa
terlihat di permukaan. Sesuai uraian sekilas tadi, jika terkait UNCLOS maka
Indonesia pun masuk dalam lingkaran sengketa hak atas Landas Kontinen di
sekitar Kepulauan Natuna. Hal ini mutlak dicermati dan diwaspadai oleh
Indonesia. Bentuk-bentuk kepentingan dinegara-negara manapun berpotensi
menyebabkan konflik dan bisa menciptakan instabilitas baik secara global maupun
regional, konflik kepentingan nasional yang bersumber dari kepentingan ekonomi,
politik, sosial apabila tidak di manage dengan baik akan berujung terjadinya
konflik secara langsung yang melibatkan kekuatan militer Negara-negara tertentu
yang merasa terusik. Pembangunan landas pacu dan pengiriman kapal militer oleh
Cina bukan rahasia lagi. Klaim yurisdiksi ini bahkan diperkuat landasan hukum
di Cina sendiri sehingga bagi militer adalah sah
saja menganggap Laut cina selatan milik Beijing seluruhnya. Mereka yang mengklaim secara sebagian
seperti Filipina, Malaysia atau Brunei dianggapnya merongrong kedaulatan. Bagi
negara tetangga Cina, berhadapan dengan negara raksasa ini sangatlah
menakutkan. Namun mereka tidak sendiri. Bagi Filipina,
keberanian itu dimungkinkan karena keyakinan bahwa Amerika
Serikat bahkan mungkin Jepang, takkan membiarkan Cina menjadi kekuatan hegemoni
di Laut cina selatan.
Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di Laut cina selatan. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan. Vietnam, terlebih Filipina, memang telah bersekutu dengan AS. Secara eksplisit, pemerintah AS menyatakan akan melindungi Filipina, berkaitan dengan sengketa perairan Laut China Selatan. Justru, "kembalinya" AS dalam percaturan politik kawasan Asia Timur ini akan menciptakan munculnya politik perimbangan kekuatan klasik. Kembalinya AS ini merupakan upaya pemindahan poros kebijakannya, dari sebelumnya lebih mengarah ke Timur Tengah, menuju Asia. Dalam majalah Foreign Policy (November 2011), Menlu AS waktu itu Hillary Clinton secara eksplisit mengatakan, "masa depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan bahwa AS tidak main-main dan dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional negara-negara sekutunya. Para pengamat maupun pengambil kebijakan perlu cermat membaca politik kawasan. Sepanjang sejarah Asia Timur, konflik besar seperti Perang Korea, Perang Vietnam dan krisis Selat Taiwan pecah karena keterlibatan AS. Oleh sebab itu, kita patut bersikap obyektif dalam melakukan penilaian mengenai, siapa aktor yang paling mungkin memecah belah kesatuan kawasan.
Faktor AS dan Jepang serta Indonesia pada tingkat tertentu menjadikan Cina hanya berani main gertak saja. Persoalannya, main gertak ini kalau justru merunyamkan masalah bisa-bisa terlibat bentrokan terbatas, sesuatu yang bakal mempersulit kerja sama mengelola potensi sumber daya alam di Laut cina selatan. Lebih-lebih penyelesaian masalah kedaulatan. Vietnam, terlebih Filipina, memang telah bersekutu dengan AS. Secara eksplisit, pemerintah AS menyatakan akan melindungi Filipina, berkaitan dengan sengketa perairan Laut China Selatan. Justru, "kembalinya" AS dalam percaturan politik kawasan Asia Timur ini akan menciptakan munculnya politik perimbangan kekuatan klasik. Kembalinya AS ini merupakan upaya pemindahan poros kebijakannya, dari sebelumnya lebih mengarah ke Timur Tengah, menuju Asia. Dalam majalah Foreign Policy (November 2011), Menlu AS waktu itu Hillary Clinton secara eksplisit mengatakan, "masa depan politik akan ditentukan di Asia, bukan di Afghanistan atau Irak, dan Amerika Serikat akan beraksi tepat di tengahnya." Ini menunjukkan bahwa AS tidak main-main dan dinilai perlu untuk melindungi kepentingan nasional negara-negara sekutunya. Para pengamat maupun pengambil kebijakan perlu cermat membaca politik kawasan. Sepanjang sejarah Asia Timur, konflik besar seperti Perang Korea, Perang Vietnam dan krisis Selat Taiwan pecah karena keterlibatan AS. Oleh sebab itu, kita patut bersikap obyektif dalam melakukan penilaian mengenai, siapa aktor yang paling mungkin memecah belah kesatuan kawasan.
Sumber :
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=8910&type=4#.UyAZvM5U0bV diakses tanggal 10 Maret 2014
http://hidayatpratama.blogspot.com/2012/03/uraian-singkat-tentang-kepulauan.html diakses tanggal 10 Maret
http://www.academia.edu/3988963/Kebijakan_Luar_Negeri_Indonesia_Terkait_Konflik_Laut_Cina_Selatan diakses tanggal 12 Maret 2014
No comments:
Post a Comment